Senin, 29 Juni 2015

essai Peran Ahlus Sunnah Terhadap Pelurusan Akidah



PERAN AHLUSSUNNAH TERHADAP PELURUSAN AKIDAH 
DALAM MEDIA KEKINIAN
           


        Berbicara tentang generasi sebuah bangsa, kita perlu menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang peka akan sejarahnya. Bila disinggung mengenai generasi yang berprestasi, generasi ’45 yang mungkin lebih layak mendapatkan pujian pertama. Sebutan prestasi tidak hanya dapat diistilahkan sebagai limpahan penghargaan di setiap kejuaraan, karena itu merupakan pengertian yang dangkal. Sebut saja diantara mereka ada Moh. Yamin yang menjadi penyelenggara dari sumpah pemuda. Juga terdapat Shodanco Singgih yang membuat perundingan dengan Soekarno di Rengasdengklok, dan beberapa pemuda lainnya. Namun nyatanya, sejarah tidak pernah mencatat bahwa mereka mendapatkan penghargaan atas jasa yang telah mereka kerahkan. Bahkan mereka tampak lebih senang bila Indonesia dapat segera memproklamirkan kemerdekaannya. Sehingga, asumsi dari sebuah prestasi tidak bisa hanya dipandang sebelah mata.

            Seperti halnya teori padi “kian berisi kian menunduk”. Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan oleh bumi pertiwi dan segenap pejuangnya. Generasi yang mecerminkan keteladanan serta ketawadhu’an ala ahlus sunnah. Tidak seperti mereka yang mengumbarkan kemenangan berupa torehan tinta di atas kertas. Meski terkadang harus menutupi kedoknya sebagai penebar rasa bangga dengan istilah-istilah keagamaan, seperti halnya tahadduts bin ni’am (menceritakan nikmat yang didapat). Istilah ini memang diambil dari firman Allah dalam surah Ad-Duha ayat 11 :



وَأماَّ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ


Artinya : “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” {Adh-Dhuha : 11}


            Tapi, fungsi dari ayat ini sering disalahgunakan oleh generasi-generasi yang berpikiran tidak jelas. Praktikum penyalahgunaan yang semakin disebarkan itu, membuat mereka beranggapan bahwa setiap nikmat seperti halnya torehan prestasi gemilang harus dijunjung tinggi dan dipamerkan. Bukankah hal itu akan menyalahi etika yang melarang kesombongan? Melainkan, anjuran yang demikian bertujuan untuk dijadikan sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan tersebut. Serta dapat difungsikan sebagai motivasi kuat untuk menyemangatkan para pelajar yang membutuhkan dorongan.

            Nah, lalu bagaimana dengan generasi yang berkeliaran atau malah terperangkap dalam ranah arus globalisasi? Globalisasi memang menuntut kita untuk maju. Globalisasi juga mengajak kita menyelami pernak-pernik duniawi. Kita diajarkan untuk berinteraksi dan tidak berdiam diri dalam lumbung padi sendiri. Tapi sayangnya, globalisasi tak mengenal aturan, tata hukum, dan norma-norma agama. Globalisasi lebih menitik beratkan akan kepuasan dan kesenangan para penggunanya. Perubahan akhirnya terjadi. Semua sektor kehidupan beralih daripada asalnya. Pembahasan ini memang dirasa sudah menjadi basi karena sering menjadi perbincangan orang-orang. Tapi, apakah ada yang menyadari bahwa faktor utama yang melatar belakangi hal yang demikian adalah millah (agama).
 
            Tersirat dalam catatan sejarah akan kejayaan umat Islam di era pertengahan disaat Dinasti Abbasiyah menjadi pemerintahan paling berdaulat. Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang pesat di dua tempat bersejarah, yaitu Baghdad di timur dan Cordoba di barat. Perluasan kekuasaan melalui berbagai ekspansi hingga ke Spanyol di barat dan India di timur menunjukkan betapa besarnya daulah islamiyah pada saat itu.

            Memasuki era modern, Dinasti Abbasiyah yang runtuh akibat serangan tentara Mongol, menyerahkan khilafah Islam kepada Dinasti Turki Utsmani. Di bawah pemerintahan Turki Utsmani, Islam sempat jaya. Bahkan seorang khalifah besar bernama Muhammad Al-Fatih dapat merobohkan benteng Konstantinopel yang belum pernah bisa ditaklukkan oleh khalifah-khalifah Islam sebelumnya.

Namun, kejayaan Turki Utsmani tidak  berlangsung lama di era modern. Golongan barat akhirnya memecahkan keheningan perang dengan digelarnya perang dunia I pada tahun 1914 M. Hal itulah yang menjadikan Khilafah Islamiyah tidak bangkit lagi dan secara resmi dianggap jatuh pada tanggal 3 Maret 1924. Sehingga, bisa ditarik kesimpulan bahwa kehidupan kita selama ini tanpa dinaungi oleh khilafah. Tanpa khalifah, serangan orang-orang barat ke masyarakat Islam akan mudah berlangsung. Baik secara fisik seperti yang terjadi di Palestina dan secara ideologis seperti halnya di Nusantara ini.

Pernah seorang Barat mengatakan, “sekarang ini kita tidak perlu lagi menghasut orang Islam untuk kafir, kita cukup memberi mereka media untuk meninggalkan agamanya sendiri. Bahkan cara seperti itu merupakan tindakan yang lebih efektif.” Licik, memang sudah menjadi sifat mereka. Pemikiran seperti ini juga diasumsi oleh orang-orang Syiah. Di Indonesia mereka memanfaatkan status mereka sendiri sebagai kaum minoritas dengan membuat ulah ataupun kericuhan. Seperti halnya tragedi di Sampang. Jelaslah bahwa mereka yang memicu persengketaan terjadi. Meski pada akhirnya mereka dianggap kalah, namun sejatinya dengan itulah mereka akan menarik perhatian dan simpati dari berbagai pihak sebagai kaum minoritas yang tertindas. Propaganda semacam ini semakin mengecam dan memojokkan Islam. Sehingga Islam dianggap sebagai agama yang dipenuhi kekerasan.

Ketika semua pembahasan di atas ditarik suatu garis kesimpulan, maka akan tercipta sebuah pengertian bahwa generasi masa kini tanpa adanya khilafah akan semakin disingkirkan dari agamanya melalui kemajuan globalisasi. Maka disinilah, Aswaja akan menjalankan perannya sebagai benteng akidah demi keberlangsungan syiar Islam.

Kita pernah tahu bahwa Ahlussunnah wal Jamaah (ASWAJA) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadiratus Syaikh K.H. M. Hasyim Al-Asy’ari dalam Qanun Asasi. Yaitu : dalam ilmu akidah atau teologi mengikuti salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Mathuridi. Dalam syari’ah atau fiqh mengikuti salah satu imam empat. Yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tasawwuf atau akhlaq mengikuti salah satu dua imam, yaitu Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Namun, pada situasi yang demikian rumit, Aswaja harus segera melindungi media. Upaya Barat meruntuhkan nilai keagamaan pemuda melalui media harus segera dihentikan. Bagaimana nilai-nilai Aswaja bisa memberikan stimulus jitu pada pemuda agar memanfaatkan media tanpa mendapat distorsi dari kaum zionis maupun salibis. Sejarah kejayaan Islam dahulu bagaimana dapat ditorehkan kembali melalui lilai Aswaja ini,

1.      Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak ekstrim (baik ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul umur Awsathuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita. 

Sehingga pada potret masa kini, nilai tawassuth dalam Ahlussunnah dapat dimanfaatkan untuk menindak lanjuti perkembangan media yang ada. Bukan berarti kita harus meninggalkan media, dan bukan berarti pula kita harus tenggelam ke dasarnya.

2.      Tasamuh
Pengertian tasamuh adalah toleran, sebuah pola sikap yang menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran yang akan menimbulkan sikap saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.

Sehingga dengan adanya nilai kedua ini, Aswaja dapat mengajak generasi Islam untuk bersatu tanpa memikirkan perbedaan status sosial demi mewujudkan Islam yang Berjaya dan sekaligus menopang perang idealisme yang tengah digencarkan di berbagai media.

3.      Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu, antar struktur sosial, antar negara dan rakyat, maupun antar manusia dan alam. Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak menguntungkan pihak tertentu dan tidak merugikan pihak lainnya. Tetapi masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa menggangu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya kedinamisan hidup. 

Dalam ranah sosial yang ditekankan adalah persamaan derajat seluruh umat manusia. Tidak ada yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain, termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan tegas menentang penjajahan dan kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.

Dengan nilai keseimbangan ini, Aswaja dapat membantu generasi Islam untuk menempatkan diri pada posisi yang sesuai dengan perannya sendiri, sehingga tidak menjadi rebutan dan menimbulkan perpecahan.

4.      Ta’adul
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola integral dari tawassuth, tasamuh dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan ajaean universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud disini adalah keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu juga Umar bin Khottob yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang agung.

Banyak orang mengatakan bahwa media masa kini dapat menentukan kehidupan seseorang. Tergantung apakah dia mampu mengolah serta memanfaatkan media dengan baik. Sebagian yang lain juga mengatakan bahwa media kekinianmalah dapat membunuh pemainnya yang terlalu berambisi atau kadang kurang teliti dalam menggunakannya.

Setiap detik lalu lintas masih terasa ramai
Dalam lajur, lorong serta dimensi yang membuana
Menghantam cakrawala
Ada orang disana
Dalam bingkai kabut kelam di dasar lautan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar