PERAN AHLUSSUNNAH TERHADAP PELURUSAN AKIDAH
DALAM MEDIA KEKINIAN
Berbicara
tentang generasi sebuah bangsa, kita perlu menyadari bahwa bangsa yang besar
adalah bangsa yang peka akan sejarahnya. Bila disinggung mengenai generasi yang
berprestasi, generasi ’45 yang mungkin lebih layak mendapatkan pujian pertama.
Sebutan prestasi tidak hanya dapat diistilahkan sebagai limpahan penghargaan di
setiap kejuaraan, karena itu merupakan pengertian yang dangkal. Sebut saja
diantara mereka ada Moh. Yamin yang menjadi penyelenggara dari sumpah pemuda.
Juga terdapat Shodanco
Singgih yang membuat perundingan dengan Soekarno di Rengasdengklok, dan
beberapa pemuda lainnya. Namun nyatanya, sejarah tidak pernah mencatat bahwa
mereka mendapatkan penghargaan atas jasa yang telah mereka kerahkan. Bahkan
mereka tampak lebih senang bila Indonesia dapat segera memproklamirkan
kemerdekaannya. Sehingga, asumsi dari sebuah prestasi tidak bisa hanya
dipandang sebelah mata.
Seperti halnya teori padi “kian
berisi kian menunduk”. Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan oleh bumi
pertiwi dan segenap pejuangnya. Generasi yang mecerminkan keteladanan serta
ketawadhu’an ala ahlus sunnah. Tidak seperti mereka yang mengumbarkan
kemenangan berupa torehan tinta di atas kertas. Meski terkadang harus menutupi
kedoknya sebagai penebar rasa bangga dengan istilah-istilah keagamaan, seperti
halnya tahadduts bin ni’am (menceritakan nikmat yang didapat). Istilah
ini memang diambil dari firman Allah dalam surah Ad-Duha ayat 11 :
وَأماَّ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya
: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” {Adh-Dhuha : 11}
Tapi,
fungsi dari ayat ini sering disalahgunakan oleh generasi-generasi yang
berpikiran tidak jelas. Praktikum penyalahgunaan yang semakin disebarkan itu,
membuat mereka beranggapan bahwa setiap nikmat seperti halnya torehan prestasi
gemilang harus dijunjung tinggi dan dipamerkan. Bukankah hal itu akan menyalahi
etika yang melarang kesombongan? Melainkan, anjuran yang demikian bertujuan
untuk dijadikan sebagai bentuk rasa syukur atas kenikmatan tersebut. Serta
dapat difungsikan sebagai motivasi kuat untuk menyemangatkan para pelajar yang
membutuhkan dorongan.
Nah, lalu bagaimana dengan generasi
yang berkeliaran atau malah terperangkap dalam ranah arus globalisasi?
Globalisasi memang menuntut kita untuk maju. Globalisasi juga mengajak kita
menyelami pernak-pernik duniawi. Kita diajarkan untuk berinteraksi dan tidak
berdiam diri dalam lumbung padi sendiri. Tapi sayangnya, globalisasi tak
mengenal aturan, tata hukum, dan norma-norma agama. Globalisasi lebih menitik
beratkan akan kepuasan dan kesenangan para penggunanya. Perubahan akhirnya
terjadi. Semua sektor kehidupan beralih daripada asalnya. Pembahasan ini memang
dirasa sudah menjadi basi karena sering menjadi perbincangan orang-orang. Tapi,
apakah ada yang menyadari bahwa faktor utama yang melatar belakangi hal yang
demikian adalah millah (agama).
Tersirat dalam catatan sejarah akan
kejayaan umat Islam di era pertengahan disaat Dinasti Abbasiyah menjadi
pemerintahan paling berdaulat. Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang pesat di
dua tempat bersejarah, yaitu Baghdad di timur dan Cordoba di barat. Perluasan
kekuasaan melalui berbagai ekspansi hingga ke Spanyol di barat dan India di
timur menunjukkan betapa besarnya daulah islamiyah pada saat itu.
Memasuki era modern, Dinasti
Abbasiyah yang runtuh akibat serangan tentara Mongol, menyerahkan khilafah
Islam kepada Dinasti Turki Utsmani. Di bawah pemerintahan Turki Utsmani, Islam
sempat jaya. Bahkan seorang khalifah besar bernama Muhammad Al-Fatih dapat
merobohkan benteng Konstantinopel yang belum pernah bisa ditaklukkan oleh
khalifah-khalifah Islam sebelumnya.
Namun, kejayaan Turki Utsmani tidak berlangsung lama di era modern. Golongan
barat akhirnya memecahkan keheningan perang dengan digelarnya perang dunia I
pada tahun 1914 M. Hal itulah yang menjadikan Khilafah Islamiyah tidak bangkit
lagi dan secara resmi dianggap jatuh pada tanggal 3 Maret 1924. Sehingga, bisa
ditarik kesimpulan bahwa kehidupan kita selama ini tanpa dinaungi oleh
khilafah. Tanpa khalifah, serangan orang-orang barat ke masyarakat Islam akan
mudah berlangsung. Baik secara fisik seperti yang terjadi di Palestina dan
secara ideologis seperti halnya di Nusantara ini.
Pernah seorang Barat mengatakan, “sekarang ini
kita tidak perlu lagi menghasut orang Islam untuk kafir, kita cukup memberi
mereka media untuk meninggalkan agamanya sendiri. Bahkan cara seperti itu
merupakan tindakan yang lebih efektif.” Licik, memang sudah menjadi sifat
mereka. Pemikiran seperti ini juga diasumsi oleh orang-orang Syiah. Di
Indonesia mereka memanfaatkan status mereka sendiri sebagai kaum minoritas
dengan membuat ulah ataupun kericuhan. Seperti halnya tragedi di Sampang.
Jelaslah bahwa mereka yang memicu persengketaan terjadi. Meski pada akhirnya
mereka dianggap kalah, namun sejatinya dengan itulah mereka akan menarik
perhatian dan simpati dari berbagai pihak sebagai kaum minoritas yang
tertindas. Propaganda semacam ini semakin mengecam dan memojokkan Islam.
Sehingga Islam dianggap sebagai agama yang dipenuhi kekerasan.
Ketika semua pembahasan di atas ditarik suatu
garis kesimpulan, maka akan tercipta sebuah pengertian bahwa generasi masa kini
tanpa adanya khilafah akan semakin disingkirkan dari agamanya melalui kemajuan
globalisasi. Maka disinilah, Aswaja akan menjalankan perannya sebagai benteng
akidah demi keberlangsungan syiar Islam.
Kita pernah tahu bahwa Ahlussunnah wal Jamaah
(ASWAJA) adalah madzhab keislaman yang menjadi dasar jam’iyyah Nahdlatul Ulama
(NU) sebagaimana dirumuskan oleh Hadiratus Syaikh K.H. M. Hasyim Al-Asy’ari
dalam Qanun Asasi. Yaitu : dalam ilmu akidah atau teologi mengikuti
salah satu dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Mathuridi. Dalam
syari’ah atau fiqh mengikuti salah satu imam empat. Yaitu Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam tasawwuf
atau akhlaq mengikuti salah satu dua imam, yaitu Junaid Al-Baghdadi dan Abu
Hamid Al-Ghazali.
Namun, pada situasi yang demikian rumit, Aswaja
harus segera melindungi media. Upaya Barat meruntuhkan nilai keagamaan pemuda
melalui media harus segera dihentikan. Bagaimana nilai-nilai Aswaja bisa
memberikan stimulus jitu pada pemuda agar memanfaatkan media tanpa mendapat distorsi
dari kaum zionis maupun salibis. Sejarah kejayaan Islam dahulu bagaimana dapat
ditorehkan kembali melalui lilai Aswaja ini,
1.
Tawassuth
Tawassuth bisa dimaknai sebagai berdiri di tengah, moderat, tidak
ekstrim (baik ke kanan maupun ke kiri), tetapi memiliki sikap dan pendirian. Khairul
umur Awsathuha (paling baiknya sesuatu adalah pertengahannya). Tawassuth
merupakan nilai yang mengatur pola pikir, yaitu bagaimana seharusnya kita
mengarahkan pemikiran kita.
Sehingga pada potret masa kini, nilai tawassuth dalam Ahlussunnah
dapat dimanfaatkan untuk menindak lanjuti perkembangan media yang ada. Bukan
berarti kita harus meninggalkan media, dan bukan berarti pula kita harus
tenggelam ke dasarnya.
2.
Tasamuh
Pengertian tasamuh adalah toleran, sebuah pola sikap yang
menghargai perbedaan, tidak memaksakan kehendak dan merasa benar sendiri. Nilai
yang mengatur bagaimana kita harus bersikap dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan akhirnya adalah kesadaran yang
akan menimbulkan sikap saling melengkapi bukan membawa kepada perpecahan.
Sehingga dengan adanya nilai kedua ini, Aswaja dapat mengajak
generasi Islam untuk bersatu tanpa memikirkan perbedaan status sosial demi
mewujudkan Islam yang Berjaya dan sekaligus menopang perang idealisme yang
tengah digencarkan di berbagai media.
3.
Tawazun
Tawazun
berarti keseimbangan dalam pola hubungan atau relasi baik yang bersifat antar individu,
antar struktur sosial, antar negara dan rakyat, maupun antar manusia dan alam.
Keseimbangan disini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, tidak
menguntungkan pihak tertentu dan tidak merugikan pihak lainnya. Tetapi
masing-masing pihak mampu menempatkan dirinya sesuai dengan fungsinya tanpa
menggangu fungsi dari pihak yang lain. Hasil yang diharapkan adalah terciptanya
kedinamisan hidup.
Dalam ranah
sosial yang ditekankan adalah persamaan derajat seluruh umat manusia. Tidak ada
yang merasa lebih dari yang lain, yang membedakan hanyalah tingkat
ketaqwaannya. Tidak ada dominasi dan eksploitasi seseorang kepada orang lain,
termasuk laki-laki terhadap perempuan. Maka kita lihat dalam sejarah, Nabi
Muhammad dan Khulafaurrasyidin dengan tegas menolak dan berusaha menghapus
perbudakan. Begitu juga, sikap NU yang dengan tegas menentang penjajahan dan
kolonialisme terhadap bangsa Indonesia.
Dengan nilai
keseimbangan ini, Aswaja dapat membantu generasi Islam untuk menempatkan diri
pada posisi yang sesuai dengan perannya sendiri, sehingga tidak menjadi rebutan
dan menimbulkan perpecahan.
4.
Ta’adul
Yang dimaksud dengan ta’adul adalah keadilan, yang merupakan pola
integral dari tawassuth, tasamuh dan tawazun. Keadilan inilah yang merupakan
ajaean universal Aswaja. Setiap pemikiran, sikap dan relasi, harus selalu
diselaraskan dengan nilai ini. Pemaknaan keadilan yang dimaksud disini adalah
keadilan sosial. Yaitu nilai kebenaran yang mengatur totalitas kehidupan
politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Sejarah membuktikan
bagaimana Nabi Muhammad mampu mewujudkannya dalam masyarakat Madinah. Begitu
juga Umar bin Khottob yang telah meletakkan fundamen bagi peradaban Islam yang
agung.
Banyak orang mengatakan bahwa media masa kini dapat menentukan
kehidupan seseorang. Tergantung apakah dia mampu mengolah serta memanfaatkan
media dengan baik. Sebagian yang lain juga mengatakan bahwa media kekinianmalah
dapat membunuh pemainnya yang terlalu berambisi atau kadang kurang teliti dalam
menggunakannya.
Setiap detik lalu lintas masih terasa ramai
Dalam lajur, lorong serta dimensi yang membuana
Menghantam cakrawala
Ada orang disana
Dalam bingkai kabut kelam di dasar lautan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar