ANUGERAH DI BALIK JUBAH KEPATUHAN
Sejuk
pagi itu bersemayam kelam merasuki dasar kalbu dan memberikan ketenangan tak
terhingga dalam relung tiap sanubari. Ditemani tarian dedaunan yang diterpa
angin musim. Hanya mereka yang bersahaja dan telah bersuci yang dapat merasakan
ketenangan pagi itu. Terlebih lagi, bila diiringi dengan lantunan ayat suci
Al-Quran yang dibacakan dengan irama syahdu.
Suasana
pagi itu sungguh terasa bagi seorang lelaki paruh baya yang nampak muda namun
berjiwa besar dan berpikiran dewasa. Sebut saja namanya Asrovi. Pemuda yang
berseri-seri setiap harinya itu tampak memangku Al-Quran dengan bibir yang
berkatup-katup melantunkan ayat-ayat sucinya. Keberadaannya di pondok pesantren
tersohor di daerahnya, membuat ia menjadi sesosok pemuda yang berwawasan luas
dan berakhlaq mulia. Dari hal itu, dia begitu sangat familiar bagi segenap
penghuni pondok pesantren itu. Dia terkenal sebagai pemuda yang bersahaja dan
sangat menhormati gurunya. Dia tergolong sebagai pemuda yang rendah dari segi
perekonomian dan martabat. Namun, ketabahan dan keingin tahuannya pada ilmu
menghilangkan itu semua.
13
tahun sudah Asrovi menempuh pendidikannya di pondok pesantren tersebut. Dia
kemudian dipercaya oleh gurunya, Kiai Syaiful yang juga merupakan pengasuh
pondok pesantren tersebut untuk menjadi
tenaga pengajar disana. Dia manut saja terhadap apa yang telah menjadi perintah
dari Kiai Syaiful. Keberadaannya di pondok pesantren sungguh sangat membantu. Waktupun
terus berlalu, hingga Asrovi dinyatakan sebagai guru senior di pondok
pesantrennya itu.
###
Di
suatu pagi Kiai Syaiful hendak berjalan-jalan mengelilingi lokasi pondok
pesantrennya sambil memperhatikan kegiatan santrinya. Seketika dia tertegun
memandangi sesosok santri seniornya yang tengah membaca Al-Quran. Dialah
Asrovi. Kiai Syaiful tampak mengernyitkan dahi melihat santri kebanggaanya itu
kelihatan mulai menua. Hingga terbesit dalam kalbunya “Asrovi. Apakah kau tak
ingin meraup kebanggaanmu sendiri ?”. Kiai Syaiful tersadar dari lamunannya
pada Asrovi dan segera memanggilnya. “Asrovi….kemarilah”. mendengar panggilan
kiainya, Asrovi bangkit dan segera memenuhi panggilan Kiai Syaiful. “Enggih
Kiai, apa gerangan bapak Kiai memanggil saya”. Asrovi merasa kalut dan tidak
berani memandang wajah gurunya yang kharismatik itu. “Maafkan saya Kiai, apakah saya melakukan
kesalahan dari apa yang telah saya kerjakan”. Kiai Syaiful tersenyum dan
berkata, “Tidak Asrovi. Aku sungguh bangga dengan apa yang telah kau kobankan untuk
pesantrenku ini. Akupun berterima kasih kepadamu atas itu semua”. Asrovi
semakin menunduk. “Aku hanya merasa bahwa kau sudah pantas untuk mendapatkan
kebahagiaan yang menjadi hakmu sendiri”. Asrovi terperangah tak mengerti,
“Maafkan saya kiai, namun saya
betul-betul tak mengerti dengan apa yang Kiai dauhkan itu”. Kiai Syaiful malah
bertanya, “dari umurmu yang kian beranjak naik, apakah kau tidak ingin menikah
?” Mendengar pertanyaan gurunya itu bibir Asrovi terasa kelu untuk
menanggapinya. Dia kemudian hanya berucap, “Saya masih belum memikirkannya
Kiai.” Kiai Syaiful segera menanggapi, “Baiklah. Aku harap kau memikirkannya,
dan aku menunggu jawabanmu dalam jangka waktu 3 hari.” Kiai Syaiful segera
pergi meninggalkan Asrovi yang tengah membeku kaku mengingat dauh dari gurunya
itu.
###
Tiga
hari tidaklah cukup bagi Asrovi untuk memikirkan hal yang demikian berat itu.
Dia bimbang bukan karena ia tidak mau menikah. Diapun merasa bahwa ia sudah
cukup lama berada di pesantren dengan usia yang tidak muda lagi. Namun, yang
dia pikirkan adalah dengan siapa ia
harus menikah. Status ekonomi pada saat itu sangat diperhitungkan. Dia
membatin, “Tiga hari sudah kulewati, tapi aku masih ragu dan tidak dapat keluar
dari persoalan ini. Padahal hari ini aku harus sowan pada Kiai untuk memberikan
jawabanku. Jika terus seperti ini, beliau nantinya akan kecewa. Daripada terus
menunda, lebih baik aku jujur saja pada beliau atas keraguanku ini. Beliau
pasti mengerti.”
Asrovi
bangkit dari duduknya dan segera menuju pendopo, tempat Kiai Syaiful biasa
istirahat. Sesampainya, ia mendapati sang guru baru saja menerima tamu yang
sempat berpapasan dengannya. Asrovi memulai salamnya dengan khidmat.
“Assalamualaikum.” Sang guru menjawab sekaligus tersenyum atas kedatangannya,
“Waalaikum salam. Duduklah Asrovi !” Asrovipun duduk dengan wajah tetap
tertunduk tanpa berkata apa-apa. Kiai Syaiful kemudian memulai pembicaraan,
“Aku menunggu jawabanmu Asrovi. Utarakanlah apa yang ingin kau katakan.”
Sejenak Asrovi terdiam sembari mengatur nafasnya, “Sebelumnya saya mohon maaf Kiai.
Mungkin jawaban saya tidak begitu memuaskan bagi Kiai. Bukan berarti saya tidak
berkeinginan menikah, dan tidak menuruti perintah. Saya juga merasa bahwa saya
sudah cukup umur untuk hal itu. Tapi, dengan keadaan saya yang demikian
melarat, akankah saya dapat membina rumah tangga yang sakinah ?” Sepintas Kiai
Syaiful terperanjat, namun pada akhirnya ia mengerti dan menyunggingkan senyum
dengan jawaban Asrovi itu. “Aku mengerti Asrovi. Oleh karena itu, aku akan
membantumu. Apakah kau mengenali tamu yang baru saja mendatangiku itu ?” “Tidak
Kiai.” Jawab Asrovi singkat. “Dia adalah sahabatku, seorang Kiai tersohor di
Pulau jawa bernama Kiai Mansur. Aku rasa dia tidak akan keberatan bila
kuutarakan maksudku untuk membantumu.” Asrovi mulai mengerti pembicaraan Kiai
Syaiful. “Jadi maksud Kiai… ” Kiai Syaiful segera memotong pembicaraan Asrovi.
“Benar. Dia memiliki seorang putri seumuran dengan kau. Dia datang kesini juga
sempat membicarakan putrinya itu. Aku harap kau tidak ragu dengan keputusanku
ini.” Seketika Asrovi melamun membayangkan dirinya yang hina mempersunting
putri seorang Kiai ternama. Apakah ia dapat membangun rumah tangga yang
sakinah. Lama yang merenungi perkataan Kiai Syaiful itu. Hingga dia dikejutkan,
“Asrovi…!” Secara spontan Asrovi berkata, “Saya hanya manut saja Kiai.” Kiai
Syaiful sangat senang mendengarnya. `
###
Hari
berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan turut berganti tahun. Genap
setahun setelah kejadian itu, Asrovi tampak mulai tenang. Semuanya dia jalani
dengan penuh ikhlas semata mengharap ridha Allah dengan jalan mematuhi titah
gurunya, Kiai Syaiful. Dia hanya bisa berharap semoga semuanya dapat berjalan
dengan lancar.
Pertunangan
telah selesai digelar. Namun, sampai saat itu pula Asrovi belum tahu seperti
apakah calon istrinya itu. Dia hanya mengetahui nama pendeknya saja, yaitu
Anisa. Dia hanya bisa mengkhayalkan bayangan wajahnya yang kerap kali hadir
dalam mimpi-mimpi Asrovi. “Wanita yang sempurna.” Batin Asrovi berkata setelah
bangun dari tidurnya.
Seminggu
berselang dari pertunangan, awan mendung tak bisa terelakkan lagi. Rintikkan
hujan menggyur hati Asrovi yang kalut akan berita wafatnya Kiai Mansur, calon
mertuanya. Tentu dia juga merasakan penderitaan calon istrinya Anisa karena
ditinggal mati oleh ayahnya. Kebahagiaan yang dinanti-nantikan untuk
melangsungkan pernikahan harus dibatalkan. Bahkan juga menjadi ancaman atas
keberlangsungan hubungan antara Asrovi dan Anisa. Kenyataan yang demikian,
membuat Anisa harus berada di bawah pengawasan kakaknya yamg sebenarnya tidak
menyetujui pernikahan Anisa dan Asrovi.
Asrovi semakin
terpukul. Dia bimbang, sehingga dia harus mengutarakan persoalannya pada Kiai
Syaiful. “Kiai, betapa lancangnya diriku ini bila harus mengatakannya. Tapi,
bukankah kejujuran dapat membawa berkah. Apakah saya harus mempertahankan
hubungan yang tidak selaras ini Kiai.” Kiai Syaiful yang sudah mengetahui duduk
persoalannya menjawab, “tenanglah Asrovi. Pernikahanmu dengan Anisa tidak akan
dibatalkan.” Asrovi hanya diam seribu bahasa entah apa yang dia pikirkan.
Setelah dilalui
berbagai perundingan, keputusan pernikahan akhirnya dapat disepakati oleh kedua
belah pihak. Pernikahan antara Asrovi dan Anisa akan segera digelar 3 hari
lagi. Hati Asrovi sangat senang mendengarnya. Meski ia masih ragu jikalau kakak
Anisa kembali tidak merestui hubungan mereka.
Pernikahan
akhirnya dapat dilaksanakan dengan khidmat dan meriah. Acara skaral itu
berhasil Asrovi lalui dengan mudah. Kini ia tengah berada diantara keluarga
yang sangat bersahaja dan terhormat. Ternyata kekhawatiran Asrovi akan kakak
Anisa tidaklah benar. Dia mengucapkan kata selamat kepada Asrovi sembari
menyuruhnya menemui Anisa di kamar pengantin. Tidak lupa kakak Anisa berpesan
agar memperlakukan Anisa dengan baik. Dengan janji setia, Asrovi menguatkan hati kakak Anisa untuk
menerimanya.
Berjalan
perlahan, namun pasti. Asrovi melangkahkan kakinya menuju kamar pengantin. Dia
berucap basmalah terlebih dahulu, dan kemudian membuka pintunya perlahan.
Dengan salam ia masuk, “Assalamualaikum.” Jawaban seorang wanita terdengar, “Waalaikum
Salam, masuklah.” Asrovi terperanjat melihat pemandangan menawan di hadapannya.
Tengah duduk sesosok wanita yang sangat cantik dengan kulit seputih salju dan
senyum semanis madu yang membuat bibir Asrovi kelu, ia berkata, “Be..nar..kah anda Anisa?” Tanya Asrovi. “Ya,
saya Anisa. Apakah anda Asrovi, suamiku.” Sedikit Asrovi tertegun melihat
reaksi Anisa yang diam tiada arti. Segera ia menjawab pertanyaannya, “Benar,
aku Asrovi Anisa. Lalu, apakah wujudku terlalu hina bagi keindahan dirimu
hingga kau tidak bereaksi apapun atas kedatanganku, suamimu?” Asrovi merasa
salah bicara. Dia dapati Anisa menangis. Dia segera mendekati Anisa. “Maafkan
aku Anisa. Bila kata-kataku tadi telah menyakitimu. Apabila kau masih belum siap
untuk semua ini, aku rela mundur. ” Segera Anisa menjawab, “Tidak mas, tidak.
Bahkan kaulah yang lebih sempurna dariku. Aku hanya takut kau merasa kecewa
mendapatkan wanita sepertiku dengan keadaan yang kualami ini.” Sejenak Asrovi berfikir, kemudian bertanya
lagi, “Ada apa denganmu Anisa. Seberapa buruknya engkau, aku akan tetap
memerimamu. Katakanlah!” Anisa kemudian berhenti dari tangisnya dan berkata,
“Apakah kau tidak tahu mas, bahwa istrimu ini adalah seorang yang buta?”
Mendengar perkataan itu, Asrovi berusaha berfikir keras dan akhirnya mengerti
tentang semua hal yang telah terjadi. Tentang kedatangan Kiai Mansur ke pondok
pesantrennya. Tentang Kiai Syaiful yang sangat mewanti-wantinya untuk menikah.
Tentang kakak Anisa yang sempat tidak menyetujui pernikahan ini sekaligus
pesannya barusan. Serta tentang dirinya yang selama ini tidak pernah melihat
Anisa hingga hari ini. Asrovi tersadar dari lamunannya dan segera bangkit
seraya membangkitkan Anisa pula, lalu berkata, “Anisa, aku sekarang adalah suamimu.
Aku berjanji akan membahagiakanmu dan akan selalu berada di sampingmu.”
Tumpahlah air mata Anisa di pundak Asrovi. “Terima kasih mas. Sungguh besar
kelapangan jiwamu dapat menerimaku”. End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar