Senin, 29 Juni 2015

Cerpen Anugerah di Balik Jubah Kepatuhan



ANUGERAH DI BALIK JUBAH KEPATUHAN

            Sejuk pagi itu bersemayam kelam merasuki dasar kalbu dan memberikan ketenangan tak terhingga dalam relung tiap sanubari. Ditemani tarian dedaunan yang diterpa angin musim. Hanya mereka yang bersahaja dan telah bersuci yang dapat merasakan ketenangan pagi itu. Terlebih lagi, bila diiringi dengan lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan dengan irama syahdu.

            Suasana pagi itu sungguh terasa bagi seorang lelaki paruh baya yang nampak muda namun berjiwa besar dan berpikiran dewasa. Sebut saja namanya Asrovi. Pemuda yang berseri-seri setiap harinya itu tampak memangku Al-Quran dengan bibir yang berkatup-katup melantunkan ayat-ayat sucinya. Keberadaannya di pondok pesantren tersohor di daerahnya, membuat ia menjadi sesosok pemuda yang berwawasan luas dan berakhlaq mulia. Dari hal itu, dia begitu sangat familiar bagi segenap penghuni pondok pesantren itu. Dia terkenal sebagai pemuda yang bersahaja dan sangat menhormati gurunya. Dia tergolong sebagai pemuda yang rendah dari segi perekonomian dan martabat. Namun, ketabahan dan keingin tahuannya pada ilmu menghilangkan itu semua.

            13 tahun sudah Asrovi menempuh pendidikannya di pondok pesantren tersebut. Dia kemudian dipercaya oleh gurunya, Kiai Syaiful yang juga merupakan pengasuh pondok pesantren tersebut  untuk menjadi tenaga pengajar disana. Dia manut saja terhadap apa yang telah menjadi perintah dari Kiai Syaiful. Keberadaannya di pondok pesantren sungguh sangat membantu. Waktupun terus berlalu, hingga Asrovi dinyatakan sebagai guru senior di pondok pesantrennya itu.

###

            Di suatu pagi Kiai Syaiful hendak berjalan-jalan mengelilingi lokasi pondok pesantrennya sambil memperhatikan kegiatan santrinya. Seketika dia tertegun memandangi sesosok santri seniornya yang tengah membaca Al-Quran. Dialah Asrovi. Kiai Syaiful tampak mengernyitkan dahi melihat santri kebanggaanya itu kelihatan mulai menua. Hingga terbesit dalam kalbunya “Asrovi. Apakah kau tak ingin meraup kebanggaanmu sendiri ?”. Kiai Syaiful tersadar dari lamunannya pada Asrovi dan segera memanggilnya. “Asrovi….kemarilah”. mendengar panggilan kiainya, Asrovi bangkit dan segera memenuhi panggilan Kiai Syaiful. “Enggih Kiai, apa gerangan bapak Kiai memanggil saya”. Asrovi merasa kalut dan tidak berani memandang wajah gurunya yang kharismatik itu.  “Maafkan saya Kiai, apakah saya melakukan kesalahan dari apa yang telah saya kerjakan”. Kiai Syaiful tersenyum dan berkata, “Tidak Asrovi. Aku sungguh bangga dengan apa yang telah kau kobankan untuk pesantrenku ini. Akupun berterima kasih kepadamu atas itu semua”. Asrovi semakin menunduk. “Aku hanya merasa bahwa kau sudah pantas untuk mendapatkan kebahagiaan yang menjadi hakmu sendiri”. Asrovi terperangah tak mengerti, “Maafkan saya  kiai, namun saya betul-betul tak mengerti dengan apa yang Kiai dauhkan itu”. Kiai Syaiful malah bertanya, “dari umurmu yang kian beranjak naik, apakah kau tidak ingin menikah ?” Mendengar pertanyaan gurunya itu bibir Asrovi terasa kelu untuk menanggapinya. Dia kemudian hanya berucap, “Saya masih belum memikirkannya Kiai.” Kiai Syaiful segera menanggapi, “Baiklah. Aku harap kau memikirkannya, dan aku menunggu jawabanmu dalam jangka waktu 3 hari.” Kiai Syaiful segera pergi meninggalkan Asrovi yang tengah membeku kaku mengingat dauh dari gurunya itu.

###

            Tiga hari tidaklah cukup bagi Asrovi untuk memikirkan hal yang demikian berat itu. Dia bimbang bukan karena ia tidak mau menikah. Diapun merasa bahwa ia sudah cukup lama berada di pesantren dengan usia yang tidak muda lagi. Namun, yang dia pikirkan adalah  dengan siapa ia harus menikah. Status ekonomi pada saat itu sangat diperhitungkan. Dia membatin, “Tiga hari sudah kulewati, tapi aku masih ragu dan tidak dapat keluar dari persoalan ini. Padahal hari ini aku harus sowan pada Kiai untuk memberikan jawabanku. Jika terus seperti ini, beliau nantinya akan kecewa. Daripada terus menunda, lebih baik aku jujur saja pada beliau atas keraguanku ini. Beliau pasti mengerti.”

            Asrovi bangkit dari duduknya dan segera menuju pendopo, tempat Kiai Syaiful biasa istirahat. Sesampainya, ia mendapati sang guru baru saja menerima tamu yang sempat berpapasan dengannya. Asrovi memulai salamnya dengan khidmat. “Assalamualaikum.” Sang guru menjawab sekaligus tersenyum atas kedatangannya, “Waalaikum salam. Duduklah Asrovi !” Asrovipun duduk dengan wajah tetap tertunduk tanpa berkata apa-apa. Kiai Syaiful kemudian memulai pembicaraan, “Aku menunggu jawabanmu Asrovi. Utarakanlah apa yang ingin kau katakan.” Sejenak Asrovi terdiam sembari mengatur nafasnya, “Sebelumnya saya mohon maaf Kiai. Mungkin jawaban saya tidak begitu memuaskan bagi Kiai. Bukan berarti saya tidak berkeinginan menikah, dan tidak menuruti perintah. Saya juga merasa bahwa saya sudah cukup umur untuk hal itu. Tapi, dengan keadaan saya yang demikian melarat, akankah saya dapat membina rumah tangga yang sakinah ?” Sepintas Kiai Syaiful terperanjat, namun pada akhirnya ia mengerti dan menyunggingkan senyum dengan jawaban Asrovi itu. “Aku mengerti Asrovi. Oleh karena itu, aku akan membantumu. Apakah kau mengenali tamu yang baru saja mendatangiku itu ?” “Tidak Kiai.” Jawab Asrovi singkat. “Dia adalah sahabatku, seorang Kiai tersohor di Pulau jawa bernama Kiai Mansur. Aku rasa dia tidak akan keberatan bila kuutarakan maksudku untuk membantumu.” Asrovi mulai mengerti pembicaraan Kiai Syaiful. “Jadi maksud Kiai… ” Kiai Syaiful segera memotong pembicaraan Asrovi. “Benar. Dia memiliki seorang putri seumuran dengan kau. Dia datang kesini juga sempat membicarakan putrinya itu. Aku harap kau tidak ragu dengan keputusanku ini.” Seketika Asrovi melamun membayangkan dirinya yang hina mempersunting putri seorang Kiai ternama. Apakah ia dapat membangun rumah tangga yang sakinah. Lama yang merenungi perkataan Kiai Syaiful itu. Hingga dia dikejutkan, “Asrovi…!” Secara spontan Asrovi berkata, “Saya hanya manut saja Kiai.” Kiai Syaiful sangat senang mendengarnya. `

###

            Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan turut berganti tahun. Genap setahun setelah kejadian itu, Asrovi tampak mulai tenang. Semuanya dia jalani dengan penuh ikhlas semata mengharap ridha Allah dengan jalan mematuhi titah gurunya, Kiai Syaiful. Dia hanya bisa berharap semoga semuanya dapat berjalan dengan lancar.

            Pertunangan telah selesai digelar. Namun, sampai saat itu pula Asrovi belum tahu seperti apakah calon istrinya itu. Dia hanya mengetahui nama pendeknya saja, yaitu Anisa. Dia hanya bisa mengkhayalkan bayangan wajahnya yang kerap kali hadir dalam mimpi-mimpi Asrovi. “Wanita yang sempurna.” Batin Asrovi berkata setelah bangun dari tidurnya.

            Seminggu berselang dari pertunangan, awan mendung tak bisa terelakkan lagi. Rintikkan hujan menggyur hati Asrovi yang kalut akan berita wafatnya Kiai Mansur, calon mertuanya. Tentu dia juga merasakan penderitaan calon istrinya Anisa karena ditinggal mati oleh ayahnya. Kebahagiaan yang dinanti-nantikan untuk melangsungkan pernikahan harus dibatalkan. Bahkan juga menjadi ancaman atas keberlangsungan hubungan antara Asrovi dan Anisa. Kenyataan yang demikian, membuat Anisa harus berada di bawah pengawasan kakaknya yamg sebenarnya tidak menyetujui pernikahan Anisa dan Asrovi.

Asrovi semakin terpukul. Dia bimbang, sehingga dia harus mengutarakan persoalannya pada Kiai Syaiful. “Kiai, betapa lancangnya diriku ini bila harus mengatakannya. Tapi, bukankah kejujuran dapat membawa berkah. Apakah saya harus mempertahankan hubungan yang tidak selaras ini Kiai.” Kiai Syaiful yang sudah mengetahui duduk persoalannya menjawab, “tenanglah Asrovi. Pernikahanmu dengan Anisa tidak akan dibatalkan.” Asrovi hanya diam seribu bahasa entah apa yang dia pikirkan.

Setelah dilalui berbagai perundingan, keputusan pernikahan akhirnya dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Pernikahan antara Asrovi dan Anisa akan segera digelar 3 hari lagi. Hati Asrovi sangat senang mendengarnya. Meski ia masih ragu jikalau kakak Anisa kembali tidak merestui hubungan mereka.

Pernikahan akhirnya dapat dilaksanakan dengan khidmat dan meriah. Acara skaral itu berhasil Asrovi lalui dengan mudah. Kini ia tengah berada diantara keluarga yang sangat bersahaja dan terhormat. Ternyata kekhawatiran Asrovi akan kakak Anisa tidaklah benar. Dia mengucapkan kata selamat kepada Asrovi sembari menyuruhnya menemui Anisa di kamar pengantin. Tidak lupa kakak Anisa berpesan agar memperlakukan Anisa dengan baik. Dengan janji setia,  Asrovi menguatkan hati kakak Anisa untuk menerimanya.

Berjalan perlahan, namun pasti. Asrovi melangkahkan kakinya menuju kamar pengantin. Dia berucap basmalah terlebih dahulu, dan kemudian membuka pintunya perlahan. Dengan salam ia masuk, “Assalamualaikum.” Jawaban seorang wanita terdengar, “Waalaikum Salam, masuklah.” Asrovi terperanjat melihat pemandangan menawan di hadapannya. Tengah duduk sesosok wanita yang sangat cantik dengan kulit seputih salju dan senyum semanis madu yang membuat bibir Asrovi kelu, ia berkata,  “Be..nar..kah anda Anisa?” Tanya Asrovi. “Ya, saya Anisa. Apakah anda Asrovi, suamiku.” Sedikit Asrovi tertegun melihat reaksi Anisa yang diam tiada arti. Segera ia menjawab pertanyaannya, “Benar, aku Asrovi Anisa. Lalu, apakah wujudku terlalu hina bagi keindahan dirimu hingga kau tidak bereaksi apapun atas kedatanganku, suamimu?” Asrovi merasa salah bicara. Dia dapati Anisa menangis. Dia segera mendekati Anisa. “Maafkan aku Anisa. Bila kata-kataku tadi telah menyakitimu. Apabila kau masih belum siap untuk semua ini, aku rela mundur. ” Segera Anisa menjawab, “Tidak mas, tidak. Bahkan kaulah yang lebih sempurna dariku. Aku hanya takut kau merasa kecewa mendapatkan wanita sepertiku dengan keadaan yang kualami ini.”  Sejenak Asrovi berfikir, kemudian bertanya lagi, “Ada apa denganmu Anisa. Seberapa buruknya engkau, aku akan tetap memerimamu. Katakanlah!” Anisa kemudian berhenti dari tangisnya dan berkata, “Apakah kau tidak tahu mas, bahwa istrimu ini adalah seorang yang buta?” Mendengar perkataan itu, Asrovi berusaha berfikir keras dan akhirnya mengerti tentang semua hal yang telah terjadi. Tentang kedatangan Kiai Mansur ke pondok pesantrennya. Tentang Kiai Syaiful yang sangat mewanti-wantinya untuk menikah. Tentang kakak Anisa yang sempat tidak menyetujui pernikahan ini sekaligus pesannya barusan. Serta tentang dirinya yang selama ini tidak pernah melihat Anisa hingga hari ini. Asrovi tersadar dari lamunannya dan segera bangkit seraya membangkitkan Anisa pula, lalu berkata, “Anisa, aku sekarang adalah suamimu. Aku berjanji akan membahagiakanmu dan akan selalu berada di sampingmu.” Tumpahlah air mata Anisa di pundak Asrovi. “Terima kasih mas. Sungguh besar kelapangan jiwamu dapat menerimaku”. End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar