Keberuntungan
Hakiki Dalam Hidup
Oleh:
Moh. Abdul Majid Al Ansori
PP.
MAMBAUL ULUM BATA-BATA
Berbanggalah! Berbahagialah! Bagi jiwa yang tenang dan
tentram disana. Begitu besar keberuntungan yang ia peroleh. Ia telah berada di
jalan yang benar. Dan akan tiba saatnya, dimana kemenangan dapat ia genggam, ia
rangkul, ia songsong dengan untaian puja dan puji syukur pada Robb-nya.
Begitula seharusnya. Rasa syukur memang sepatutnya selalu
dipanjatkan bagi jiwa-jiwa yang tentram yang biasa kita sebut sebagai santri
ini. Status santri dalam kacamata publik mungkin hanyalah sekumpulan pemuda
bersarung, berkopyah, dan paham akan ilmu agama. Namun secara otoritasnya, dan
ketika dipandang dari sisi yang berbeda tak hanya sekilas dan sepintas itu
mereka cukup menggambarkannya.
Selain dari aspek nilai dan norma agama, masih banyak
rahasia-rahasia di balik keberadaan santri itu sendiri. Namun terkadang,
seorang santripun tidak tahu menahu akan hal itu. Padahal hal itu kian tumbuh
subur di dalam keperibadian mereka.
Lantas, bagi mereka yang merasakan keberadaaan rahasia
yang bergejolak dalam diri mereka tersebut, maka mereka akan berusaha
mengembangkan potensi rahasia itu yang bermuasal dari sosok santri yang mereka
miliki. Dengan dorongan syukur dan panjatan doa, hingga mereka benar-benar
dapat memiliki keperibadian dengan jiwa yang tenang dan tentram seperti yang
disebutkan barusan.
Lalu bagi mereka yang tidak tahu menahu akan rahasia itu,
Mereka hanya akan melakukan aktifitas kesehariannya tanpa memperhitungkan adanya
power atau kekuatan yang membantu diri mereka dalam melaksanakan segala
kegiatan padat mereka. Mereka tidak merasakan hal itu, yang mereka rasakan
hanyalah bagaimana diri mereka selalu berada dalam posisi yang benar dan tidak
akan pernah melakukan kesalahan. Itulah yang mereka jadikan pedoman dan acuan
dalam menjalani hari-hari mereka. Namun, dari hal tersebut tidak ada yang harus
dikhawatirkan. Sebab, yang menjadi prioritas utama dalam hal ini adalah titik
akhirnya. Dimana seorang santri menjadi sosok yang berjiwa tenang, tentram, dan
bersahaja. Dan hal itu tentunya akan mereka sadari di penghujung kemenangan
mereka.
Itulah perihal santri di dalam kaca mata publik. Adapun
menurut pandangan ilmu agama sendiri, yang memang merupakan pijakan bagi kaum
santri. Sungguh tiada tara lagi kemuliaan dan keagungan seorang santri. Mereka
yang diistilahkan sebagai “Tholibul Ilmi” oleh para pengarang dalam
kitab-kitab klasiknya, seakan-akan telah menempatkan diri pada suatu tingkatan
yang amat tinggi. Begitu pula bagi mereka orang-orang awam, yang masih sangat
kental dan berpegang teguh menjalani tradisi dan nilai-nilai keagamaan. Sepak
terjang santri menjadi sorotan utama bagi mereka. Bahkan, seperti orang tua,
sanak saudara, dan para kerabat akan mengorbankan berbagai hal. Mulai dari yang
bersifat tenaga ataupun materi teruntuk bagi Tholibul Ilmi yang kita kenal
sebagai santri. Dalam hal ini, seorang ulama bernama Syeh Az-Zarnuji mengutip
sebuah perkataan dari Syeh Sadiduddin Syairazi dalam kitabnya ;
“Guru-guruku berkata, “barangsiapa yang menginginkan
anaknya menjadi orang yang berilmu, maka sepantasnya ia menjaga, memuliakan,
menghormati, dan memberi segala sesuatu kepada mereka yang pergi untuk belajar
(mondok).””
Seperti itulah sebenarnya santri dari dua buah kacamata
yang berbeda. Sekilas dari penjabaran yang telah dipaparkan barusan, tentunya
kita akan timbul sebuah pertanyaan besar. Pertanyaan yang berusaha menguak
rahasia di balik jubah kepribadian pada figur seorang santri. Sebenarnya apa
yang membuat mereka begitu istimewa? Lalu apa makna dari sebuah keberuntungan
yang mereka peroleh? Dari kedua pertanyaan ini, maka jawaban yang sangat akurat
setelah melakukan riset dan penelitian secara seksama adalah :
a.
Pengokohan
Diri Akan Ilmu Dan Norma-Norma Keagamaan
Kategori ini merupakan kategori yang paling mudah dicerna
dan ditemukan dari kepribadian seorang santri. Bahkan semua orang pun pasti
tahu. Karena hal ini merupakan tujuan utama mereka menimba ilmu dan berdomisili
di pondok pesantren yang mereka tempati. Meskipun hal itu didasari oleh
perintah atau anjuran dari orang-orang di sekeliling mereka. Sehingga pada
akhirnya, mereka akan sadar dengan sendirinya bahwa kehendak orang-orang di
sekeliling mereka bukanlah untuk menjerumuskan melainkan untuk membentengi diri
mereka dengan keimanan dan ketaqwaan berdasarkan ajaran islam yang benar.
Namun, proses pengokohan diri ini perlu adanya usaha dan
kerja keras. Sehingga tidak semudah membalikkan telapak tangan mereka bisa
menggapainya. Seorang pepatahpun mengatakan ;
بقدرما
تتعنّى تنال ما تتمنّى
“Kadar keberhasilan seseorang didasari oleh kadar
usaha dan kerja kerasnya”
Selain kerja keras, mereka juga
membutuhkan kesemangatan begitu pula suplai dorongan. Dorongan ini bisa
datangnya dari orang tua, guru, teman, serta lingkungan di sekitarnya.
b.
Kemandirian
Inilah yang patut dibanggakan oleh
kaum santri mengenai statusnya. Sosok yang begitu ironis layaknya para tahanan,
jauh dari orang tua, sanak saudara, dan para kerabat begitu pula jauh dari
tempat kelahirannya yang begitu mereka rindukan. Mereka berusaha menjalani
hari-hari mereka dengan kesendirian. Meskipun, sebenarnya mereka masih punya
banyak teman. Namun, tanpa kehangatan figur orang tua membuat mereka merasakan
ada sesuatu yang mengganjal. Apalagi bagi mereka yang bermuasal dari tempat
yang jauh, berbatas kota ataupun pulau. Sehingga rasa rindu yang mendalam akan
tumbuh subur mengiringi perjalanan langkah mereka setiap harinya. Namun dari
hal itu, mereka akan semakin tegar. Mereka akan membangun kesemangatan tanpa
henti hingga mereka menjadi sosok yang mandiri dan siap menghadapi segala
tantangan yang menghadang.
c.
Bertambahnya Wawasan Dan Pengalaman
Hal ini juga tidak boleh luput dari
sorotan analisa kita. Mengapa demikian? tidakkah kita ketahui, bahwa sebuah
pondok pesantren apalagi pondok pesantren yang memang sudah masyhur di kalangan
masyarakat. Menyimpan beraneka ragam santri mulai dari segi wilayah, suku, ras,
dan semacamnya. Dari perbedaan yang sedemikian rupa, akan menambah wawasan dan
pengalaman mereka yang berdomisili di pesantren tersebut. Wawasan tentang
berbagai tempat di berbagai belahan dunia beserta corak ragamnya seperti
budaya, bahasa, adat istiadat, pakaian, dan lain-lainnya tak akan tertinggal
dari rentetan wawasan yang mereka peroleh.
Begitu pula dalam hal pengalaman. Berteman dengan
orang-orang yang tidak mereka jumpai sebelumnya di daerah asal mereka dapat
menjadi pengalaman yang menarik bagi mereka. Mereka bisa
mengetahui bagaimana teman mereka berbicara, bersikap, dan
berinteraksi sesama santrinya. Dan dari pengalaman-pengalaman barusan, mereak
bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga dari teman-teman mereka yang
beragam tersebut.
Selain segudang pelajaran yang dapat
mereka petik dari pengalaman atau kebiasaan teman-temannya, mereka juga bisa
untuk saling berbagi. Misalnya berupa pengalaman pribadi seperti asal-usul
daerah, kisah riwayat hidup, cerita leluhur dan lain-lain. Jadi, selain
menerima, mereka juga bisa memberi. Menyenangkan bukan? Begitulah potret
kehidupan santri sebenarnya.
d.
Tumbuhnya Solidaritas Diri Dan
Persahabatan Yang Baik
Oh sahabat.........! pelipur lara
dalam jiwa yang terbungkam akan kesendirian.
Inilah hikmah terbesar dari adanya
sebuah perkumpulan, kebersamaan, dan persahabatan. Persahabatan yang terjalin
antara seorang santri dengan santri lainnya memang sangatlah erat. Mengapa
tidak? Berbagai aktifitas sehari-hari baik yang bersifat pribadi ataupun secara
keseluruhan selalu mereka jalani bersama. Mulai dari makan, mengaji, berangkat
ke sekolah, dan aktifitas lainnya.
Seorang sahabat bagi santri
merupakan obat penawar luka. Luka berbekas yang di faktori oleh kerinduan
mereka pada sanak famili di rumah. Dengan hadirnya seorang sahabat mereka akan
merasa terhibur. Tak akan ada lagi kegundaha dalam diri mereka. Sehingga mereka
akan dengan mudah menggapai segenap impian mereka di pondok pesantren yang
mereka singgahi. Bahkan tak jarang, seorang sahabat dapat menjadi motifator
handal yang berjasa besar memupuk kepribadian seorang santri.
Bisa kita bayangkan, seandainya kita
berada di sebuah tempat yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Tak ada
orang yang dapat kita tanyakan. Tak ada pula teman yang menemani kita saat itu.
Betapa menyedihkannya kita!
Dari sekian banyak teman, pasti
salah satu di antara mereka adalah seorang teman sejati. Teman sejatilah yang
mengerti akan suka dan duka seseorang. Teman sejatipun telah digambarkan dengan
gamblang oleh seorang pepatah arab. Ia berkata;
الرفيق هو الّذي يفرح لفرحك و يحزن لحزنك
”Sahabat seajti
adalah orang yang bahagia karena kebahagiaanmu dan bersedih karena kesedihanmu”
e.
Sikap Kedisiplinan
Sikap kedisiplinan secara hakiki
setara derajatnya dengan kejujuran. Dimana seseorang yang memiliki sifat
disiplin akan mudah di percaya dan semua tugas-tugasnya dapat kita
pertimbangkan. Nah, selain kemandirian dan solidaritas, santripun juga punya
yang namanya kedisiplinan ini.
Kedisiplinan merupakan sifat yang
terpuji. Sehingga ulama terdahulu mengistilahkannya dengan sebuah perkataan ISTIQOMAH.
Dan dari sifat istiqomah itu sendiri, memiliki beribu-ribu manfaat. Namun, yang
terpenting adalah bahwa istiqomah tersebut dapat menghantarkan seseorang menuju
sebuah tingkatan yang diistilahkan dengan KAROMAH. Karomah inilah yang
menghiasi seseorang dengan pernak-pernik kelebihan yang tidak dimiliki oleh
orang lain pada umumnya. Sering dikatakan oleh para ulama ;
اطلب الإستقامة و لا تطلب الكرامة لأنّ الإستقامة عين
الكرامة
“berusahalah kamu untuk istiqomah
(disiplin) dan janganlah kamu mencari sebuah karomah, karena istiqomah adalah
urgensi dari karomah.”
Selain waktu, seorang santripun
dituntut pula untuk disiplin dalam hal tempat. Maksudnya, posisi yang mereka
tempati ketika menjalani rutinitasnya tak pernah dirubah ataupun diganti.
Dengan artian, mereka tidak pernah berpindah-pindah tempat atau posisi.
Dari kedisiplinan di atas, seorang
santri dapat melatih dirinya agar disiplin dalam hal-hal yang lain. Seperti,
disiplin dalam menjaga hati, disiplin dalam beribadah, dan lainnya. Dan sifat
kedisiplinan tersebut dapat mereka sandang dan diamalkan ketika sudah lepas
landas di arena masyarakat luas.
f.
Taat
Akan Peraturan Dan Undang-Undang
Di sinilah titik temu dimana santri akan merasa
terpenjara dan mengalami penyiksaan batin yang menyeluruh dalam diri mereka. Di
awal, saat mereka baru merasakan aroma khas pondok pesantren, hal ini menjadi
tantangan terberat bagi mereka. Sehingga perasaan sedih, gundah gulana, dan
keinginan untuk pulang seringkali terlintas di benak mereka. Hal itu terjadi
karena didukung oleh ketidak tahuan mereka akan arti dari sebuah
perundang-undangan. Mereka mengira bahwa adanya undang-undang yang
berbelit-belit membuat mereka tidak merasakan kebebasan dan merasa terkekang. Hal
itu terus mereka lalui setiap harinya. Sehingga bagi mereka yang bertahan,
sebuah keajaibanpun akan muncul pada akhirnya. Mereka akan sadar bahwa di balik
adanya sebuah undang-undang pasti ada hikmah yang begitu besar. Dan memang begitulah
hakikat undang-undang sebenarnya. Undang-undang dibuat bukan untuk dilanggar
melainkan untuk dipatuhi. Dan hal itu pasti didasari oleh alasan yang kuat.
Yang intinya, pasti demi kebaikan santri itu sendiri.
Ketaatan seorang santri pada sebuah undang-undang bisa dijadikan sebuah tolak ukur mereka
pada Kiainya. Karena, saat kita koreksi kembali, bukankah undang-undang
tersebut dibentuk oleh beliau, atau pengurus pesantren yang tentunya
berdasarkan persetujuan beliau? Maka dari hal itu, sifat kepatuhan dari seorang
santri sedikit demi sedikit akan terpatri lekat dalam kepribadian mereka.
Tidak beruntung mereka yang patuh
akan undang-undang. Seseorang tanpa diliputi oleh sebuah undang-undang akan menjadi liar. Layaknya seekor binatang.
Bertindak semaunya tanpa ada rasa malu dan menoleh kanan kiri. Lalu bagaimana
perihal alam semesta ini? Allah SWT juga telah menetapkan berbagai peraturan di
dalamnya yang harus dipatuhi oleh semua penghuninya.
g.
Kesederhanaan
Sederhana atau yang bisa disebut
dengan Iqtishod juga merupakan sebagian dari sifat-sifat yang menghiasi
kepribadian seorang santri. Sebuah kesederhanan bukan berarti harus didera
kemiskinan. Orang kaya saja tidak menutup kemungkinan untuk memiliki sifat ini.
Nah, dalam
konsep kesederhanaan ini seorang santri akan melibatkan diri mereka di
dalamnya. Sifat kesederhanaan itu akan menghantarkan mereka menjadi orang yang
bersahaja terutama religius. Lagi pula, sangat tidak relevan sekali jika santri
memiliki pola hidup yang melampaui batas maksimalnya.
Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa suatu
kesederhanaan bukan berarti kemiskinan. Sehingga ta’rif atau definisi singkat yang sangat pas dengan
konsep kesederhanaan ialah membelanjakan harta sesuai kebutuhan. Cukup ringkas
dan padat. Jadi, bukan berarti seorang santri harus berlebih-lebihan dengan
membeli apa saja yang diinginkan. Bukan pula santri harus terlalu hemat sampai
tidak makan hingga berhari-hari. Bukan seperti itu konsep kesederhanaan yang
sebenarnya.
Begitulah beberapa keistimewaan di balik rahasia-rahasia
yang dimiliki oleh seorang santri. Namun, ini masih secara garis besarnya saja.
Mungkin jika kita kaji lebih dalam lagi, akan lebih banyak hal yang dapat kita
temukan. Maka berbanggalah bagi siapa saja yang beridentitas santri. Tidak
perlu ada kegengsian. Yang terpenting adalah selalu bersikap benar dan menjaga
diri agar tidak terjerumus pada kesalahan. Dan bersiaplah! Pada saatnya kita
akan petik berjuta-juta kemenangan gemilang yang abadi, tertanam dalam jiwa
kita.
Berjuta-juta impian ingin segera kita raih, namun masih
ada proses dan aturan yang harus kita jalani. Agar hal itu menjadi begitu
sempurna dan memuaskan.
Terima
Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar