Selasa, 30 Juni 2015

makalah hadits maudhu'



HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH
FAHAMAN YANG MENTRADISI

PAPER

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Ujian Akhir Madrasah
 (UAM) di Madrasah Aliyah
Mambaul Ulum Bata-Bata


















Disusun oleh:

MOH. ABDUL MAJID AL ANSORI
XII IPS 1
NIS: 009269



MADRASAH ALIYAH
MAMBAUL ULUM BATA-BATA
PANAAN PALENGAAN PAMEKASAN
TAHUN AJARAN
2014-2015

LEMBAR PERSETUJUAN
Paper Tentang HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI. yang di susun oleh: Moh. Abdul Majid Al Ansori telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal….//…..//2015



















Pembimbing

HABIBULLAH, S.Pd





LEMBAR PENGESAHAN
Paper tentang HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI.yang di susun oleh: Moh. Abdul Majid Al Ansori telah Disahkan oleh Penguji untuk di uji pada tanggal….//…..//2015


Menyetujui dan Mengesahkan

Team Penguji                                                 Tanda Tangan

1)    ……..………                                              (…………………)

2)    ……………..                                              (…………………)









Mengetahui
Kepada Madrasah Aliyah MUBA


H. MUZAMMIL IMRON, S.Ag.,MA.










MOTTO
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Artinya : “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka”
 {H.R Bukhori Muslim}


















ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$#
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
  Alhamdulillah. Segala puji terhaturkan kepada allah swt. Atas nikmat taufik dan hidayahnya yang berupa islam dan iman, semuga sampai ruh ini berpisah dengan jasadnya, keduanya tetap bersemayam dalam hati dan raga ini. Shalawat dan salam tetap teruntuk baginda nabi Muhammad saw. Sosok suri tauladan meraih kebahagiaan abadi diakhirat kelak.
Kami sangat bersyukur kepada allah swt. Karna atas hidayahnya paper ini dapat diselesaikan walaupun masih jauh dari kesempurnaan. Baik dari segi bahasa, penyusunan, pengarangan dan lain sebaginya. Karna penulis masih tahap pembelajaran dalam membuat paper. paper ini, penulis sampaikan kepada Pembina madrasah aliyah (MA) mambaul ulum bata-bata sebagai salah satu syarat untuk megikuti ujian akhir madrasah (UAM) madrasah aliyah mambaul ulum bata-bata. Tidak lupa pula penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah berjasa memberi arahan, wawasan dan memotivasi penulis agar lebih mendalami lagi tentang paper ini.
          Penulis memohon kepada ustadz khususnya, dan para pembaca pada umumnya apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ilmiyah ini, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan penulis sengaja mengambil judul dalam paper ini dengan judul HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI untuk para pembaca khususnya kalangan pelajar.

Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1.     Pengasuh pondok pesantren tercinta RKH. Abd. Hamid AMZ dan beserta keluarga besar Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-bata
2.     Ustad Muzammil Imron S.Ag, MA selaku kepala MA mambaul ulum bata-bata, dan kepada Ust. Habibullah, S.Pd yang setia dan sudi meluangkan waktunya dalam membimbing pembuatan paper ini
3.     Orang tua penulis tercinta yang sudah mendedikasikan hidupnya kepada saya serta melindungi mulai dari dalam buaian sampai saat ini, dan memberi dukungan terhadap saya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
4.     Kawan-kawan penulis, baik kawan-kawan di OSIS, HUBBA, dan PIK-R yang telah sudi memberi motifasi atas terealisasinya paper ini.
Semoga paper ini bermenfa’at bagi pembaca dan penulis.

Pamekasan,29,april,2014
             

                   PENULIS              


              MOH. ABDUL MAJID AL ANSORI








DAFTAR ISI
Halaman sampul…………………………………….………………….……i
Lembar persetujuan………………………….……………………….……...ii
Lembar pengesahan ………….…………….……………………….…..…..iii
Motto……………………………………..………………………….…..…..iv
Kata Pengantar…………………………….….…………………….………..v
Daftar Isi…………………………………….………………….……..…….vii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………….……………….……………….1
B. Rumusan Masalah…………………….…………………….……………2
C. Tujuan Penulisan……………………….…………………….…………..2
D. Manfaat Penulisan ……………………………………………………….3
E. Penegasan Judul........................................................................................ 3

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Hadits maudhu’......................................................................... 4
B.     Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’....................................................... 6
C.     Faktor-Faktor yang Melatar Belakangi Munculnya Hadits Maudhu’…..9
D.    Ciri-Ciri Hadits Maudhu’........................................................................ 15
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan……………………………………………….…….………..20
B.     Saran........................................................................................................ .21
Daftar Pustaka………………………...………………………..………..23


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Dunia kini benar-benar telah diruang lingkupi dengan hal-hal yang serba canggih dan berlabel modernisasi.  Dari hal itu, ilmu pengetahuan baik berupa ammiyah ataupun dinniyah juga menuntut adanya perkembangan yang stabil. Sehingga para pakar ilmu pengetahuan dapat mengendalikan hal-hal canggih tersebut bukan malah sebaliknya.

Hukum syariat islampun demikian, tidak semestinya hukum syariat islam hanya berputar dengan pembahasan yang itu-itu saja. Lagi pula, dari segi ibadah sendiri banyak hal aneh yang kerap terjadi akhir-akhri ini dan harus segera diketahui duduk pesoalannya, agar hukum syariat Islam dapat diberlangsungkan tanap mengubah pola esensinya yang telah diajarkan oleh Rasulullah.

Namun, apakah dalam keadaan yang demikian pola atau landasan dasar hukum syariat Islam yang menopang pada Al-Quran dan Hadits harus kita lepaskan pula? Tentu saja tidak. Rasulullahpun menjelaskan bahwa keduanya merupakan pedoman kehidupan yang relevan hingga akhir zaman. Tapi sangat ironis sekali, apabila dalam kehidupan se-modern seperti sekarang ini malah banyak melahirkan berbagai ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan yang berlagak pintar dan paham akan ilmu agama. Namun nyatanya, mereka sangat dangkal akan ilmu pengetahuan apalagi yang bernotaben agama. Lebih parah lagi, dengan status yang mereka miliki sebagai seorang pakar ilmu pengetahuan, mereka dengan mudahnya berargumen dan menyatakan suatu perkara meskipun hal itu tidak didasari dengan dalil yang benar. Nyatanya masyarakat akan mudah percaya dengan hal itu dan beranggapan bahwa dalil-dalil yang diterimanya merupakan hadits Nabi yang shohih dan benar keabsahannya.

Seperti inilah salah satu gambaran akan praktikum penyalahgunaan oleh para ahli agama dan ilmu pengetahuan yang banyak membuat-buat hadits palsu untuk dijadikan dalil dalam memperkuat argumennya. Hal tersebut tidak berhenti di situ saja, melainkan hadits-hadits palsu atau yang biasa disebut dengan hadits maudhu’ itu akan mewabah ke masyarakat dan dipergunakan dengan mudah. Padahal Rasulullah SAW sudah menegaskan :

من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار. (رواه بخاري و مسلم)
Yang artinya : “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka” (H.R Bukhori dan Muslim).

Dari hadits di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa berbagai fenomena tentang menyebarnya hadits palsu atau maudhu’ dan penerapannya dalam kehidupan merupakan suatu kesalahan yang sangat dilarang oleh Rasulullah. Dalam hal ini perlu adanya perbaikan dan peringatan kepada masyarakat agar tidak salah dalam memilih hadits. Dari hal yang demikian penulis berinisiatif untuk membahas persoalan ini dengan memberikan penjelasan mengenai hadits maudhu’ dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sehingga penulis akhirnya memberikan judul untuk karya ilmiyahnya ini dengan “Hadits Maudhu’; Literatur Kesalahpahaman Yang Mentradisi”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam uraian yang disampaikan penulis di latar belakang, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas dalam paper ini :
1.      Apa definisi hadits maudhu’ ?
2.      Bagaimana sejarah munculnya hadits maudhu’?
3.      Apa saja faktor yang melatar belakangi munculnya hadits maudhu’ ?
4.      Apa saja ciri-ciri hadits maudhu’ ?

C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan paper ini memiliki tujuan :
1.      Untuk mengetahui definisi hadits maudhu’.
2.      Untuk mengetahui sejarah munculnya hadits maudhu’.
3.      Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi munculnya hadits maudhu’.
4.      Untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu’.

D. MANFAAT PENULISAN
1. memberikan pandangan terhadap pembaca mengenai hadits maudhu’.
2. memberikan arahan bagi pembaca di dalam menyikapi hadits maudhu’.
3. memberikan pengetahuan agar berhati-hati di dalam mengamalkan hadits.

E. PENEGASAN JUDUL
Hadits                   : sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dalam perkataan, perbuatan atau ketetapan.
Hadits Maudhu     : perkataan seseorang yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah (hadits palsu).
Literatur                : kecondongan; sebuah; sesuatu.
Mentradisi             : menjadi tradisi atau kebiasaan.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    DEFINISI HADITS MAUDHU’
Secara garis besar, dalam ilmu hadits terdapat banyak pengklarifikasian yang beragam. Diantaranya ialah bila sebuah hadits dilihat dari diterima atau tidaknya maka diperkenalkanlah hadits مقبول (yang diterima) dan hadits  مردود (yang ditolak)[1] dan dari hadits mardud inilah terbagi bermacam-macam hadits yang kesemuanya tidak dapat diterima disebabkan berbagai alasan. Dari semua hadits mardud, hadits yang paling tidak diterima bahkan haram dalam meriwayatkannya secara muthlaq adalah hadits maudhu’.[2]

Hadits maudhu’ yang biasa disebutkan dengan hadits palsu ini mempunyai arti yang beragam namun berintisari sama. Secara etimologi kata-kata maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari وضع الشّيء yang sama dengan حطّه yang berarti turun atau murah.[3] Dinamakan demikian, karena hadits maudhu’ terkesan murahan disebabkan sisi keautentikannya yang menurun.[4] Selain itu memiliki arti menggugurkan, misalnya kalimat وضع الجناية عنه (hakim menggugurkan hukuman dari seseorang), juga bermakna التّرك (meninggalkan), misalnya ungkapan  إبل موضوعة(unta yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya). Selain itu juga bermakna  الإفتراء و الاختلاف (mengada-ngada dan membuat-buat), misalnya kalimat وضع فلان قصّة (Fulan mengada-ngada suatu cerita).[5]

Adapun secara terminologi, menurut Sayyid Alawi hadits maudhu’ adalah hadits berbentuk khobar yang dibuat-buat, mengandung unsur kebohongan serta dinisbatkan kepada Rasulullah, sahabat, dan tabiin.[6] Lain lagi dengan Ustadz Hasan Muhammad yang berasumsi sangat padat namun sejatinya memiliki arti yang sama. Beliau kemukakan dalam kitab karangannya Rof’u Al-Astar Syarakh Ar-Raji Al-Fauz ‘Ala Ash-Shirat bahwa hadts maudhu’ adalah hadits bohongan yang disandarkan pada rasulullah.[7]

Dari kedua pengertian di atas, kita tentunya bisa menyadari bahwa hadits maudhu’ bukanlah merupakan hadits yang sebenarnya dan bukan merupakan pedoman yang bersumber dari Rasulullah. Bahkan hadits maudhu’ hanyalah berita bohong atau argumentasi murahan dengan cara direkayasa atas nama Rasulullah SAW agar dapat dengan mudahnya dipercaya oleh para pendengarnya.

Hal ini pula merupakan penipuan yang teramat besar. Seorang muslim seperti kita tentunya perlu tahu akan hal tersebut, sehingga dapat segera diluruskan agar tidak menyebar ke masyarakat luas. Apalagi bagi orang yang masih dangkal akan agama dan ilmu hadits. Orang-orang seperti itulah yang mudah menjadi sasaran dari mereka para penebar hadits maudhu’.

Perlu dikonsumsi pula oleh para pembaca, hadits maudhu’ merupakan hadits terburuk dalam kategori hadits dhoif. Namun, sebagian ulama menganggap atau memperhitungkan bahwa maudhu’at (hadits maudhu’) adalah bagian yang terpisah atau tidak termasuk dalam kategori hadits dhoif.[8]

Hadits dhoifpun sebenarnya tidak begitu layak untuk digunakan. Apalagi dalam bentuk pengamalan yang berkaitan akan hukum halal dan haram. Namun sejatinya hadits dhoif masih berlabelkan nama hadits, karena sebab kedhoifannya hanya dilatarbelakangi oleh perawi yang tidak terpercaya dari segi hafalannya, runtutan sanad yang lemah dan lainnya. Hadits dhoifpun masih diterima pengamalannya dan periwayatannya dalam pembahasan mengenai fadhoil al-a’mal, targhib, tarhib, dan dzikr al-birr.[9] Beda halnya dengan hadits maudhu’ yang secara muthlaq diharamkan dan dihukumi bathil.[10]

Tehnik dalam pembentukan hadits maudhu’pun beragam. Para wadhi’ (pembuat hadits maudhu’) terkadang mengarang suatu perkataan buatan dan meriwayatkannya dengan mengatasnamakan asma Rasulullah SAW. Diantara mereka juga ada yang mengambil perkataan para ahli hikamh atau lainnya dan mengemukakannya sebagai hadits. Ada juga yang meriwayatkan hadits, namun hadits yang diriwayatkannya ternyata salah. Sehingga menyerupai hadits maudhu’ dan tidak didasari atas kesengajaan. Seperti yang terjadi pada Thabit Bin Musa Az-Zahid dalam hadits :
من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار
Yang artinya : “Barang siapa yang melakukan salat di waktu malam, wajahnya akan baik tatkala siang.
Ada pula yang menyebutkan hadits secara keliru dengan didasari kesengajaan dan dihukumi muthlaq hadits maudhu’.[11]

Adapun kata-kata yang dipakai untuk nama-nama lain dari hadits maudhu’ adalah Al-Mukhtalaqu, Al-Mashnu, dan Al-Makdzub. Kata-kata tersebut memiliki arti yang hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa hadits semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasulullah SAW.[12]

B.     SEJARAH MUNCULNYA HADITS MAUDHU’

Masuknya secara masal penganut agama lain ke dalam islam yang merupakan  akibat dari keberhasilan dakwah islamiyah ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadits-hadits maudhu’. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka ke dalam islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa oleh para da’i, ada juga segolongan dari mereka yang menganut agama Islam hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam saat itu. Golongan ini kita kenal dengan kaum munafik.[13]

Golongan munafik tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan penganutnya. Mereka senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan menimbulkan keraguan dalam hati orang-orang Islam.

Datanglah waktu yang ditunggu oleh mereka. Yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman Bin Affan (w.35 H). golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Utsman Bin Affan adalah Abdullah Bin Saba’, seorang penganut Yahudi yang menyatakan diri telah masuk Islam.

Dengan bertopengkan pembelaan terhadap Sayyidina Ali dan ahli bait, dia menjelajah ke segenap penjuru kota untuk menaburkan fitnah kepada orang banyak. Dia mengatakan bahwa Ali (w.40 H) lebih berhak menjadi khalifah daripada Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar (w.13 H) dan Umar (w.23 H). Hal itu dikarenakan, menurut Abdullah Bin Saba’, sesuai dengan wasiat nabi SAW. Lalu, untuk mendukung propaganda tersebut, dia membuat suatu hadits maudhu’ yang artinya “Setiap nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku adlah Ali”.

Namun penyebaran hadits maudhu’ pada masa tersebut masih belum begitu mulus karena masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadits. Sebagai contoh, Sayyidina Utsman, ketika beliau mengetahui hadits maudhu’ yang dibuat oleh Ibnu Saba’, beliau mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah. Begitu juga yang dilakukan oleh Sayyidina Ali setelah beliau menjadi khalifah.

Para sahabat ini mengetahui bahaya dari hadits maudhu’ karena ada ancaman yang keras dari Rasulullah SAW terhadap orang yang memalsukan hadits. Sebagai mana sabda Nabi SAW;

Yang artinya : “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, dia telah mengambil tempatnya di dalam neraka”.[14]

Walaupun begitu, golongan ini terus mencari-cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan Utsman. Kemudian, muncul golongan-golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela atas kematian Utsman, golongan yang mendukung Ali, dan golongan yang tidak memihak pada keduanya. Kemudian, untuk mempengaruhi orang banyak supaya memihak pada golongannya masing-masing, orang-orang munafik dari masing-masing golongan tersebut membuat hadits-hadits palsu yang menunjukkan kelebihan dan keunggulannya.[15]

Diriwayatkan oleh Imam Muslim (w.261 H) dari Thawus (w. 106 H) bahwa pernah suatu ketika dihadapkan kepada Ibnu Abbas (w.68 H) suatu kitab yang di dalamnya mengandung keputusan-keputusan Ali ra. Lalu Ibnu Abbas menghapusnya, kecuali sebagian kecilnya (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah (w.178 H) memperkirakan bagian yang tidak dihapus itu sekitar sehasta.

Imam Al-Zahabi (w. 748 H) juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr. Katanya, “Aku mendengar Ali berkata di Shiffin, mudah-mudahan Allah melaknat mereka (yaitu golongan putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah. Menyadari hal ini, para sahabat awal memberikan perhatian terhadap hadits yang disebarkan oleh seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya, sekiranya mereka meragukan keshohihan hadits ini dan itu.
Setelah zaman sahabat berlalu, penelitian dan penilaian terhadap hadits-hadits Nabi SAW kian melemah. Ini menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadits yang secara tidak langsung berisi konteks pendustaan terhadap Rasulullah dan sebagian sahabat. Diperparah lagi dengan adanya konflik politik diantara umat Islam yang terjadi pada tahun ke 41 H, sehingga umat Islam terbagi ke dalam golongan Syiah, Khawarij dan Jumhur. Dari hal itu pula, bila hadits palsu sudah banyak disebarluaskan oleh masing-masing golongan, Ahlu Bid’ahpun akan semakin berpeluang dengan didukung hadits palsunya. 

Sebagai contoh, pernah terjadi di zaman kekholifan Bani Abbasiyah, hadits maudhu’ dijadikan alternatif untuk mengambil hati para khalifah. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i bersama Amirul Mukminin Al-Mahdi. Ketika Ghiyats datang kepada beliau yang sedang bermain merpati, lalu dia menyebutkan hadits dengan sanadnya secara berurutan sampai kepada Nabi SAW :
لا سبق إلاّ في نصل و خفّ أو حافر أو جناح
Yang artinya : “Tidak ada perlombaan kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menuggang kuda atau burung yang bersayap”.
Dia menambahkan kalimat “burung bersayap” untuk menyenangkan Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah Ghiyats berpaling, Al-Mahdi berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW”. Lalu beliau memerintahkan untuk menyembelih merpatinya itu.[16]

Walaupun begitu, tahap penyebaran hadits-hadits maudhu’ pada masa ini belum berjalan lancar dibandingkan pada masa setelahnya. Hal ini karena masih banyaknya tabi’in yang menjaga hadits dan memperjelas diantara yang shohih dan yang lemah. Lagi pula, zaman ini masih dianggap hampir se-zaman dengan Nabi Muhammad SAW yang disebut oleh Nabi sebagai Sebaik-baiknya zaman. Pengajaran serta wasiat dari Rasulullahpun masih segar di kalangan mereka yang bersumber dari sahabat, sehingga mereka dapat menganalisa kepalsuan dari sebuah hadits.

C.    FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI MUNCULNYA HADITS MAUDHU’

Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab hadits maudhu’ ini muncul, diantaranya sebagai berikut ;

1.      Pertentangan Politik Soal Pemilihan Kholifah
Pertentangan diantar umat Islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekholifahan diganti oleh Ali bin Abi Thalib.

Umat Islam pada saat itu terpecah belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela atas kematian khalifah Utsman, dan golongan yang mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syiah). Setelah perang Shiffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyah (w.60 H). Dalam mendukung golongannya, masing-masing dari tiap golongan sama-sama membuat hadits maudhu’. Golongan pertama dan terbanyak dalam meriwayatkan hadits maudhu’ adalah golongan Syiah dan Rafidhah.[17]
 
Orang-orang Syiah membuat hadits maudhu’ tentang keutamaaan-keutamaan Ali dan Ahli Bait. Disamping itu mereka membuat hadits maudhu’ dengan maksud mencela dan mejelek-jelekkan Abu Bakar ra. Dan Umar ra.

Diantara hadits yang dibuat oleh golongan Syiah adalah,
من أراد أن ينظر إلى أدم في علمه و إلى نوح في تقواه و إلى إبراهيم في حلمه و إلى موسى في هيبته و إلى عيسى في عبادته فلينظر إلى عليّ
Artinya : “Barang siapa yang ingin melihat Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketaqwaannya, ingin melihat Ibrohim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya, ingin melihat Isa tentang ibadahnya. Hendaklah ia melihat Ali”.[18]
إذا رأيتم معاوية فاقتلوه
Artinya : “Apabila kamu melihat Muawiyah di atas mimbarku, bunuhlah dia”.[19]

Gerakan-gerakan Syiah tersebut diimbangi oleh golongan Jumhur yang bodoh dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat hadits-hadits palsu. Contoh hadits palsunya adalah ;
ما في الجنّة شجرة إلا مكتوب على كلّ ورقة منها : لا إله إلاّ الله محمّد الرّسول الله ، ابو بكر الصّدّيق ، عمر الفاروق ، عثمان ذو النّورين.
Artinya : “Tak ada satu pohonpun dalam surga melainkan tertulis pada tiap-tiap daunnya : Lailahaillah Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Al-Faruq, dan Utsman Dzun-Nuroin[20]

Golongan yang fanatik pada Muawiyah membuat pula hadits palsu yang menerangkan keutamaan Muawiyah, diantaranya ;
الأمناء ثلاثة : أنا و جبريل و معاوية
Artinya : “Orang yang terpercaya itu ada tiga yaitu: Aku, Jibril, dan Muawiyah”.[21]
Perlu ditegaskan disini, bahwa walaupun golongan Khawarij merupakan golongan yang keluar dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak suka membuat hadits maudhu’ untuk menguatkan madzhabnya. Jadi, tidak benar jika ada ulama yang mengatakan bahwa golongan Khawarij dalam memperkuat madzhabnya membuat hadits maudhu’. 

Hal ini seperti dikatakan oleh Abu Dawud bahwa tidak ada di dalam golongan pengikut nafsu yang lebih benar dan shohih haditsnya selain golongan Khawarij.[22] Mereka tidak melakukan pemalsuan hadits dikarenakan oleh doktrin mereka yang mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta merupakan dosa besar, apalagi dusta atas nama Rasulullah. 

2.      Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Agama Islam
Golongan yang termasuk dalam poin kedua ini terdiri dari golongan Zindik, Yahudi, Majusi dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka, maka mereka mengambil jalan ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadits maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran agama Islam.

Faktor ini merupakan faktor awal munculnya hadits maudhu’. Hal ini berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah belah umat Islam dengan bertopeng kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia adalah seseorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadits maudhu’ pada saat masih banyak sahabat yang hidup.

Diantara hadits maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang Zindiq adalah ;
ينزل ربّنا عاشية على جمل أورق ، يصافح الرّكبان و يعانق المشاة
Artinya : “Tuhan kami turun dari langit pada sore hari di Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan”.[23]

النّظر إلى الوجه الجميل عبادة
Artinya : “Memandang wajah yang rupawan adalah ibadah”.[24]
Tokoh-tokoh terkenal pembuat hadits maudhu’ dari golongan zindiq ini adalah:
a.       Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadits maudhu’ tentang hukum halal-haram. Akhirnya ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman, wali kota Basrah.
b.      Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Jakfar Al-mansur.
c.       Bayan bin Sam’an Al-mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.
Khalifah yang sangat keras membasmi gerakan golongan Zindiq adalah khalifah Al-Mahdy dari dinasti Abbasiyah.

3.      Mempertahankan Madzhab dalam masalah fiqih dan Masalah Kalam
Para pengikut madzhab fikih dan pengikut ulama kalam yang bodoh dan dangkal ilmunya membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan faham-faham pendiri imamnya. Semisal, mereka yang fanatik terhadap Abu Hanifah yang menganggap tidak sah bila mengangkat kedua tangan dikala shalat juga membuat hadits maudhu’ sebagai berikut.
من رفع يديه في الصّلاة فلا صلاة له
Artinya : “Barang siapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka shalatnya tidak sah”.
Begitu pula bagi golongan Mutakallimin. Golongan ini mengkafirkan orang yang berpendapat bahwa AL-Quran adalah ciptaan baru (makhluq). Dari hal itu, mereka mengeluarkan hadits palsu dengan disandarkan kepada Rasulullah yang berbunyi : 

كلّ من في السّموات و الأرض وما بينهما فهو مخلوق غير الله و القرأن ، سيجيء أقوام من أمّتي يقولون : القرأن مخلوق فمن قال ذلك فقد كفر بالله العظيم و طلّقت منه إمرأته من ساعدها
Artinya : “Setiap yang ada di langit, bumi dan diantara keduanya adalah makhluq, kecuali Allah dan Al-Quran. Kelak, akan datang kaum dari umatku yang mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah makhluq. Oleh karena itu, barang siapa yang mengatakan demikian sungguh kafir terhadap Allah yang maha besar, dan tertalaqlah istrinya sejak saat itu”.[25]

4.      Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Mereka membuat-buat hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka sajikan ataupun dorongan untuk meningkatkan amal, melalui hadits tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandang baik). Namun sayang, mereka malah mempraktekannya dengan cara yang berlebihan.

            Salah satu diantara mereka adalah Nuh ibn Abi Maryam yang membuat hadits tentang keutamaan Al-Quran. Ketika ditanya alasannya melakukan hal demikian, ia menjawab, “saya dapati manusia telah bepaling dari membaca Al-Quran. Maka saya membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-Quran”.

Begitu pula kisah Maisaroh bin Abdi Robbihi yang diriwayatkan dari ibnu Hibban dari ibnu mahdi bahwa Ibnu Mahdi berkata : “Aku berkata kepada Maisaroh bin Abdi Robbihi” “Dari mana kamu dapatkan hadits ini, siapa membaca demikian maka ia harus diberi pelajaran demikian?” Maisaroh menjawab : “Aku memalsukannya untuk menarik perhatian manusia”.[26]

5.      Menjilat Para Penguasa untuk mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama su’ membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa. Sehingga para penguasa akan merasa senang dan tidak segan-segan memberikan upah atau hadiah dan menempatkan mereka di dalam pemerintahan.

Seperti kisah Ghiyats bin Ibrohim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul Mukminin dikala beliau sedang bermain merpati seperti yang sudah diceritakan di awal.

6.      Sebagai Bentuk Mata Pencaharian dan Penghasil Rizki
Hal yang demikian banyak dilakukan oleh para ahli cerita melalui pekerjaan dengan bercerita pada manusia berdasarkan hadits maudhu’ yang dibuatnya. Mereka menceritakan hal-hal takjub sehingga manusia mendengarkannya dan mentaatinya, seperti Abi Sa’id Al-Madaini.

7.      Alternatif Ahli Fatwa di saat Melakukan Kesalahan
Disaat para mufti melakukan kesalahan dalam fatwanya, hadits maudhu’ akan sangat berguna pada saat itu. Semisal, di tengah fatwanya mereka ditentang oleh salah seorang pendengarnya. Sehingga untuk mempertahankan harga diri, merekapun membuat hadits maudhu’ dengan mudahnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Abu Al-Khottob bin Dahiyah dan Abdul Aziz bin Al-Haris Al-Hambali.

8.      Sebagai bentuk Pengajaran Terhadap Anak
Para orang tua terkadang haus akan teori dan metode dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka bahkan berlebih-berlebihan dalam hal tersebut sampai nekat untuk memalsukan hadits. Mereka melontarkan haditsnya, meyakinkan akan keshohihannya, dan meriwayatkannya setelah itu.

D.    CIRI-CIRI HADITS MAUDHU’
Jika kita sudah mengenal latar belakang hadits maudhu’, maka ciri-cirinyapun perlu kita ketahui. Para ulama muhadditsin, di samping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih, hasan, atau dhaif suatu hadits. Mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui kemaudhu’an suatu hadits. Kemaudhu’an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.

1.      Ciri-Ciri yang Terdapat pada Sanad
Terdapat banyak ciri-ciri kemaudhu’an hadits yang terdapat pada sanad. Ciri-ciri tersebut adalah :
a.       Rawi tersebut terkenal pendusta dan tidak ada seorang perawi terpercaya yang meriwayatkan hadits darinya.
b.      Perawinya mengaku bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah hadits buatan. Seperti pengakuan seorang guru tasawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al-Quran. Sehingga iapun serentak menjawab, “tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepada kami. Akan tetapi, sejenak kami melihat manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini agar mereka menaruh perhatian kembali terhadap Al-Quran”.[27]
c.       Kenyataan sejarah yang tidak memungkinkan. Misalnya seorang rawi mengatakan bahwa ia menerima hadits dari seorang guru. Padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Bisa saja ia lahir setelah guru tersebut meninggal. Misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia mengaku menerima hadits dari Hisyam ibn Amr kepada ibn Hibban. Maka ibn Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?”. Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H”. mendengar hal itu ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H”.
d.      Keadaan rawi disertai faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Seperti halnya kisah Ghiyats bin Ibrohim sebelumnya. Tingkah laku semacam itu menjadi qorinah untuk menetapkan kemaudhu’an suatu hadits.

2.      Ciri-Ciri yang Terdapat pada Matan
Selain pada sanad, ciri-ciri hadits maudhu’ juga dapat ditemukan pada matan. Diantaranya sebagai berikut :

a.       Keburukan Susunan lafadznya
Ciri ini akan mudah diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan yang terdapat dalam pembahasan Balaghah. Dengan ilmu Bayan, kita akan merasakan susunan kata dalam hadits. Sehingga kita bisa mengetahui mana yang mungkin keluar dari lisan Nabi SAW dan mana yang tidak disabdakan Nabi SAW.

b.      Kerusakan maknanya
1.      Karena berlawanan dengan akal sehat, seperti hadits :
إنّ سفينة نوح طافت بالبيت سبعا و صلّت بالمقام ركعتين
          Yang artinya “Sesungguhnya bahtera Nuh berthawah tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang di maqam Ibrohim dua rokaat”.

2.      Karena berlawanan dengan hukum akhlaq yang umum atau menyalahi kenyataan, seperti hadits :
لا يولد بعد المائة مولود لله فيه حاجة
            Yang artinya “Tiada dilahirkan seorang anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah”.

3.      Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran. Seperti hadits :
البادنجان شفاء من كلّ شيء
            Yang artinya “Buah terong itu penawar bagi segala penyakit”.[28]

4.      Karena menyalahi aturan yang ditetapkan akal terhadap Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya. Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut :
إنّ الله خلق الفرش فأجراها فعرقت فخلق نفسها منها
            Yang artinya “Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu”.[29]


5.      Karena menyalahi hukum Allah dalam menetapkan alam. Seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibn “Unuq yang mempunyai panjang tiga ratus hasta. Ketika nabi Nuh menakutinya dengan air bah, ia berkata, “Bawalah aku ke dalam piring mangkukmu ini”. Ketika topan menjadi, air hanya sampai pada tumitnya saja. Kalau mau makan, ia cukup memasukkan tangannya ke dalam laut, membakar ikan yang diambilnya ke panas matahari yang tidak seberapa jauh dari ujung tangannya.

6.      Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal sama sekali. Seperti hadits :
الدّيك الأبيض حبيب و حبيب حبيبي جبريل
            Yang artinya “Ayam putih adalah kekasihku dan kekasi dari kekasihku adalah Jibril”.
7.      Bertentangan dengan Keterangan Al-Quran, hadits Mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits berikut :
ولد الزّنا لا يدخل الجنّة إلى سبعة أبناء
            Yang artinya “Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan”.
Makna dari hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am ayat 164, yaitu :
Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 ÇÊÏÍÈ  
            Yang artinya : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. (Q.S. Al-An’am : 164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Contoh hadits maudhu’ yang bertentangan dengan hadits mutawatir yaitu :
من ولد له ولد فسمّاه محمّدا كان هو و مولوده في الجنّة
        Yang artinya “barang siapa yang melahirkan seorang anak, kemudian ia namai Muhammad, ia dan anaknya akan masuk surga”.
            Hadits tersebut bertentangan dengan kaidah umum bahwa yang masuk surga adalah mereka yang melakukan amalan shaleh, bukan karena nama atau gelar.
8.      Menerangkan suatu pahala yang teramat besar terhadap perbuatan yang teramat kecil, atau siksa yang besar terhadap suatu perbuatan yang kecil  seperti yang tersirat dalam kitab-kitab klasik.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah diuraikan mulai dari depan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengetian hadits maudhu’ secara etimologi adalah حطه  yang berarti turun atau murah. Adapun secara terminologi hadits maudhu’ adalah suatu kabar yang dibuat-buat, mengandung kebohongan serta dinisbatkan kepada Rasulullah, sahabat, ataupun tabi’in.

Sejarah munculnya hadits maudhu’ dimulai pada tahun ke 41 H, di saat terjadinya perang politik yang menyebabkan umat Islam terpecah belah dan membuat golongan sendiri-sendiri. Di dalam memperkokoh golongannya, mereka tak hanya berbaur dalam dunia politik. Sehingga perbedaan faham akan ilmu agama juga sering terjadi, dan pada saat itulah mereka dengan mudahnya memalsukan hadits. Meskipun pada saat itu, usaha mereka dalam memalsukan hadits memperoleh kegagalan karena para sahabat masih banyak yang hidup.

Adapun faktor utama dari kemunculan hadits maudhu’ selaras dengan yang terjadi pada pembahasan sejarahnya, berupa pertentangan politik dalam soal pemilihan kholifah. Ditambah lagi beberapa faktor yang datangnya dari luar Islam dan berniat untuk menghancurkan Islam, seperti golongan Zindiq. Ada pula yang memalsukan hadits hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti mencari perhatian pada pemerintah atau sebagai bentuk mata pencaharian. Namun, kadangkala dalam pemalsuan hadits ditujukan pada hal yang berdampak positif. Semisal, membangkitkan gairah beribadah untuk mendekatkan diri pada Allah atau sebagai bentuk pembelajaran karakter terhadap anak. Tapi sayangnya, hal demikian terlalu berlebihan.

Dimulai dari devinisi hadits maudhu’ sampai faktor kemunculannya, hadits maudhu’ adalah begitu berbahaya. Terutama bila hal itu terdengar hingga ke telinga orang-orang awam. Maka perlu adanya pengklarifikasian mengenai ciri-ciri hadits maudhu’. Ciri-ciri hadits maudhu’ meliputi pada aspek sanad dan matan. Semisal, rawi merupakan seorang pendusta, pengakuan dari periwayatnya, atau maknanya berlawanan dengan akal sehat, dan sebagainya.

Setelah kita mengetahui akan ciri-ciri hadits maudhu’, haruslah kita untuk berhati-hati dengannya. Ulamapun telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkannya adalah haram muthlaq. Bahkan Imam Al-Juaini dengan berani mengkafirkan para pendusta tersebut.

Karena dianggap penting, para ulama hadits berhasil mengumpulkan hadits maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak. Hal itu didasari dengan berbagai kaedah studi kritis hadits yang mereka kembangkan.

B.       SARAN
Dalam menjalani roda kehidupan yang tidak akan pernah sistematis atau dinamis ini, patilah kita tidak akan terlepas dari kehidupan sosial. Meskipun hal tersebut belum tentu mengikat. Tapi interaksi tentulah perlu, karena dengan adanya interaksi semua akan terasa mudah.

Namun, dalam menentukan adanya suatu interaksi terhadap orang lain, pintar-pintarlah dalam memilih lawan interaksi kita. Interaksi memang perlu tapi tidak bagi semua orang. Pasti diantara kebanyakan orang yang kita kenal, tidak semuanya baik, dan hal yang demikian merupakan fakta alam. Sebagaimana halnya pepatah arab mengatakan :
امش في طريق الله # لا تبال احدا
فإنّ لكلّ احد # محبّا و مغضبا
Yang artinya “Berpegang teguhlah pada jalan Allah, dan jangan perdulikan orang lain, karena setiap orang pastilah ada yang menyukainya dan membencinya”.

Perlu ditegaskan kembali, kita bukannya dilarang untuk berinteraksi, namun dalam interaksi dibutuhkan adanya kehati-hatian dalam memilih lawan interaksi. Apalagi terhadap hal-hal yang mereka lontarkan pada kita. Karena kedustaan dari sebuah perkataan itu mudah penyebarannya. Sehingga berhati-hatilah terhadap dalil-dalil dari orang lain yang terkadang mengada-ngada. Karena biasanya kita tidak tahu bahwa diantara kita berkeliaran para penebar hadits palsu. Wallahu ‘alam.




DAFTAR PUSTAKA

Ø  Abu Ghudah, Abdul Fatah. Tanpa Tahun. Lamhat Min Tarikh As-Sunnah Wa Ulum Al-hadits. Tanpa Tempat : Tanpa Penerbit.
Ø  Al-Husni, Muhammad Alawi Al-maliki. 1990. Al-Manhal Al-Lathif Fi Ushul Al-Hadits Asy-Syarif. Mekah : Tasrihu Wizaroh Al-I’lam.
Ø  Al-Husni, Muhammad Alawi Al-maliki. Tanpa Tahun. Al-Qowaid Al-Asasiyah Fi Ilmi Mushtholahi Al-Hadits. Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah.
Ø  Al-madury, Muhammad Jufriyadi Sholeh. 2013. Al-Wajiz Fi Mushtholahi Al-Hadits. Madura : PP. Mambaul Ulum Bata-Bata.
Ø  Al-Masyat, Hasan Muhammad. Tanpa Tahun. Rof’u Al-Astar. Tanpa Tahun : Tanpa Penerbit.
Ø  An-nawawi, Al-Imam. Tanpa Tahun. Muqoddimah Shohih Muslim. Tanpa Tempat : Tanpa Penerbit.
Ø  An-Nuri, Hasan Sulaiman & Al-maliki, Alawi Abbas. Tanpa Tahun. Ibanatul Ahkam. Surabaya : Maktabah Al-Hidayah.
Ø  Ash-Shiddiqie, M. Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta : Bulan Bintang.
Ø  Asy-Syahbah, Muhammad bin Muhammad. 1978. Taisiru Mustholahi Al-Hadits. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.
Ø  Sholahuddin, M. Agus & Suyadi, Agus. 2009. Ulumul hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Ø  Yunus, Muhammad. 2010. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT. Mahmud Yunus Ad- Durriyah.


[1] Hasan Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, Surabaya; Maktabah Hidayah, t.th, p.14
[2] Mohammad Jufriyadi Sholeh Al-Madury, Al-Wajiz Fi Mushtholahi Al-Hadits, Madura; t.p,2013, p.09
[3] Prof. Dr. H. Mohammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta; PT Mahmud Yunus Ad-Durriyah, 2010, p.105
[4] Dr.Mohammad Ath-Thahhan, Taisiru Mushtholahi Al-Hadits, t.t; t.p, 1978, p.88
[5] Dr. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag, Ulumul Hadits, Bandung; Pustaka Setia, 2009, p.171
[6] Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-manhal Al-Lathif Fi Ushul Al-Hadits Asy-Syarif, Mekkah; Tashrih Wizaroh Al-I’lam, 1990, p.155
[7] Hasan Muhammad Al-Masyat, Rof’u Al –Astar, t.t; t.p, t.th, p.112
[8] Dr. Mohammad Ath-Thahhan, Taisiru.......................................................................................     p.89
[9] Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-Qowaid Al-Asasiyah Fi Ilmi Mushtholahi Al-Hadits, Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah, t.th, p.28
[10] Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-Qowaid.........................................................   p.56
[11] Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-manhal..................................................... p.55-56
[12] Dr. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag, Ulumul................................   p.172
[13] Muhammad Bin Muhammad Ash-Shahbah, Al-Israiliyat Wa Al-Maudhu’at Fi Kutubi At-Tafsir, t.t: t.p, t.th, p.20
[14] Al-Imam An-Nawawi, Muqoddimah Shahih Muslim, t.t: t.p, t.th, p.20-21
[15] Abdul Fattah Abu Ghudah, Lamhaat min Tarikh As-sunnah Wa Ulumul hadits, t.t : t.p, t.th, p.20-21
[16] Drs. M. Agus Solahuddin, M.Ag. & Agus Suyadi, M.Ag. Lc., Ulumul...................................   p.174.
[17] M. Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, p.246
[18] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.177
[19] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.177

[20] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.177
[21] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.177
[22] M. Hasbi As-Shiddiqie, Sejarah...................................................................................................   p.248

[23] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.178
[24] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.178

[25] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul..............................   p.179

[26] Dr. Mohammad Ath-Thahhan, Taisiru......................................................................................   p.90
[27] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................   p.182
[28] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................   p.183
[29] Drs. M. Agus Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................   p.184