HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH
FAHAMAN YANG MENTRADISI
PAPER
Diajukan
Untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Ujian Akhir Madrasah
(UAM) di
Madrasah Aliyah
Mambaul
Ulum Bata-Bata
Disusun
oleh:
MOH.
ABDUL MAJID AL ANSORI
XII IPS
1
NIS: 009269
MADRASAH ALIYAH
MAMBAUL ULUM BATA-BATA
PANAAN PALENGAAN PAMEKASAN
TAHUN AJARAN
2014-2015
LEMBAR PERSETUJUAN
Paper Tentang ” HADITS
MAUDU’, LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI”. yang di susun oleh: Moh. Abdul Majid Al Ansori telah disetujui oleh
pembimbing pada tanggal….//…..//2015
Pembimbing
HABIBULLAH, S.Pd
LEMBAR PENGESAHAN
Paper tentang ” HADITS MAUDU’, LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI”.yang di susun oleh: Moh.
Abdul Majid Al Ansori telah Disahkan oleh Penguji untuk di uji pada
tanggal….//…..//2015
Menyetujui dan Mengesahkan
Team Penguji Tanda
Tangan
1) ……..……… (…………………)
2) …………….. (…………………)
Mengetahui
Kepada Madrasah Aliyah MUBA
H. MUZAMMIL IMRON, S.Ag.,MA.
MOTTO
من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار
Artinya
: “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil
tempatnya di neraka”
{H.R Bukhori
Muslim}
ÉOó¡Î0
«!$#
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$#
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah.
Segala puji terhaturkan kepada allah swt. Atas nikmat taufik dan hidayahnya
yang berupa islam dan iman, semuga sampai ruh ini berpisah dengan jasadnya,
keduanya tetap bersemayam dalam hati dan raga ini. Shalawat dan salam tetap
teruntuk baginda nabi Muhammad saw. Sosok suri tauladan meraih kebahagiaan
abadi diakhirat kelak.
Kami sangat bersyukur kepada allah swt. Karna
atas hidayahnya paper ini dapat diselesaikan walaupun masih jauh dari
kesempurnaan. Baik dari segi bahasa, penyusunan, pengarangan dan lain
sebaginya. Karna penulis masih tahap pembelajaran dalam membuat paper. paper
ini, penulis sampaikan kepada Pembina madrasah aliyah (MA) mambaul ulum
bata-bata sebagai salah satu syarat untuk megikuti ujian akhir madrasah (UAM)
madrasah aliyah mambaul ulum bata-bata. Tidak lupa pula penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada pembimbing yang telah berjasa memberi arahan,
wawasan dan memotivasi penulis agar lebih mendalami lagi tentang paper ini.
Penulis
memohon kepada ustadz khususnya, dan para pembaca pada umumnya apabila
menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ilmiyah ini, penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun. Dan penulis sengaja
mengambil judul dalam paper ini dengan judul ” HADITS MAUDU’,
LITERATUR KESALAH FAHAMAN YANG MENTRADISI” untuk para pembaca khususnya
kalangan pelajar.
Selanjutnya penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1.
Pengasuh
pondok pesantren tercinta RKH. Abd. Hamid AMZ dan beserta keluarga besar Pondok
Pesantren Mambaul Ulum Bata-bata
2.
Ustad
Muzammil Imron S.Ag, MA selaku kepala MA mambaul ulum bata-bata, dan kepada
Ust. Habibullah, S.Pd yang setia dan sudi meluangkan waktunya dalam membimbing
pembuatan paper ini
3.
Orang
tua penulis tercinta yang sudah mendedikasikan hidupnya kepada saya serta
melindungi mulai dari dalam buaian sampai saat ini, dan memberi dukungan
terhadap saya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
4.
Kawan-kawan
penulis, baik kawan-kawan di OSIS, HUBBA, dan PIK-R yang telah sudi memberi motifasi
atas terealisasinya paper ini.
Semoga paper ini bermenfa’at bagi
pembaca dan penulis.
Pamekasan,29,april,2014
PENULIS
MOH. ABDUL MAJID AL ANSORI
DAFTAR ISI
Halaman sampul…………………………………….………………….……i
Lembar
persetujuan………………………….……………………….……...ii
Lembar pengesahan ………….…………….……………………….…..…..iii
Motto……………………………………..………………………….…..…..iv
Kata Pengantar…………………………….….…………………….………..v
Daftar Isi…………………………………….………………….……..…….vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………….……………….……………….1
B. Rumusan
Masalah…………………….…………………….……………2
C. Tujuan
Penulisan……………………….…………………….…………..2
D.
Manfaat Penulisan ……………………………………………………….3
E. Penegasan Judul........................................................................................ 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hadits maudhu’......................................................................... 4
B.
Sejarah
Munculnya Hadits Maudhu’....................................................... 6
C.
Faktor-Faktor
yang Melatar Belakangi Munculnya Hadits Maudhu’…..9
D.
Ciri-Ciri
Hadits Maudhu’........................................................................ 15
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………………………….…….………..20
B.
Saran........................................................................................................ .21
Daftar Pustaka………………………...………………………..………..23
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dunia kini
benar-benar telah diruang lingkupi dengan hal-hal yang serba canggih dan
berlabel modernisasi. Dari hal itu, ilmu
pengetahuan baik berupa ammiyah ataupun dinniyah juga menuntut adanya
perkembangan yang stabil. Sehingga para pakar ilmu pengetahuan dapat
mengendalikan hal-hal canggih tersebut bukan malah sebaliknya.
Hukum syariat
islampun demikian, tidak semestinya hukum syariat islam hanya berputar dengan
pembahasan yang itu-itu saja. Lagi pula, dari segi ibadah sendiri banyak hal
aneh yang kerap terjadi akhir-akhri ini dan harus segera diketahui duduk
pesoalannya, agar hukum syariat Islam dapat diberlangsungkan tanap mengubah
pola esensinya yang telah diajarkan oleh Rasulullah.
Namun, apakah
dalam keadaan yang demikian pola atau landasan dasar hukum syariat Islam yang
menopang pada Al-Quran dan Hadits harus kita lepaskan pula? Tentu saja tidak.
Rasulullahpun menjelaskan bahwa keduanya merupakan pedoman kehidupan yang relevan
hingga akhir zaman. Tapi sangat ironis sekali, apabila dalam kehidupan
se-modern seperti sekarang ini malah banyak melahirkan berbagai ilmuwan dan
pakar ilmu pengetahuan yang berlagak pintar dan paham akan ilmu agama. Namun
nyatanya, mereka sangat dangkal akan ilmu pengetahuan apalagi yang bernotaben
agama. Lebih parah lagi, dengan status yang mereka miliki sebagai seorang pakar
ilmu pengetahuan, mereka dengan mudahnya berargumen dan menyatakan suatu
perkara meskipun hal itu tidak didasari dengan dalil yang benar. Nyatanya
masyarakat akan mudah percaya dengan hal itu dan beranggapan bahwa dalil-dalil
yang diterimanya merupakan hadits Nabi yang shohih dan benar keabsahannya.
Seperti inilah
salah satu gambaran akan praktikum penyalahgunaan oleh para ahli agama dan ilmu
pengetahuan yang banyak membuat-buat hadits palsu untuk dijadikan dalil dalam
memperkuat argumennya. Hal tersebut tidak berhenti di situ saja, melainkan
hadits-hadits palsu atau yang biasa disebut dengan hadits maudhu’ itu akan
mewabah ke masyarakat dan dipergunakan dengan mudah. Padahal Rasulullah SAW
sudah menegaskan :
من كذب
عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النّار. (رواه بخاري و مسلم)
Yang artinya : “Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan
sengaja, hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka” (H.R Bukhori dan Muslim).
Dari hadits di
atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa berbagai fenomena tentang
menyebarnya hadits palsu atau maudhu’ dan penerapannya dalam kehidupan
merupakan suatu kesalahan yang sangat dilarang oleh Rasulullah. Dalam hal ini
perlu adanya perbaikan dan peringatan kepada masyarakat agar tidak salah dalam
memilih hadits. Dari hal yang demikian penulis berinisiatif untuk membahas
persoalan ini dengan memberikan penjelasan mengenai hadits maudhu’ dan hal-hal
yang berkaitan dengannya. Sehingga penulis akhirnya memberikan judul untuk
karya ilmiyahnya ini dengan “Hadits Maudhu’; Literatur Kesalahpahaman Yang
Mentradisi”.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam uraian
yang disampaikan penulis di latar belakang, maka penulis dapat merumuskan
masalah yang akan dibahas dalam paper ini :
1. Apa definisi hadits maudhu’ ?
2. Bagaimana sejarah munculnya hadits maudhu’?
3. Apa saja faktor yang melatar belakangi
munculnya hadits maudhu’ ?
4. Apa saja ciri-ciri hadits maudhu’ ?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan paper
ini memiliki tujuan :
1. Untuk mengetahui definisi hadits
maudhu’.
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya
hadits maudhu’.
3. Untuk mengetahui faktor yang
melatarbelakangi munculnya hadits maudhu’.
4. Untuk mengetahui ciri-ciri hadits maudhu’.
D. MANFAAT PENULISAN
1. memberikan pandangan terhadap pembaca mengenai hadits maudhu’.
2. memberikan arahan bagi pembaca di dalam menyikapi hadits maudhu’.
3. memberikan pengetahuan agar berhati-hati di dalam mengamalkan
hadits.
E. PENEGASAN
JUDUL
Hadits : sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW baik dalam perkataan, perbuatan atau ketetapan.
Hadits
Maudhu : perkataan seseorang yang
dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah (hadits palsu).
Literatur : kecondongan; sebuah; sesuatu.
Mentradisi : menjadi tradisi atau kebiasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI HADITS MAUDHU’
Secara
garis besar, dalam ilmu hadits terdapat banyak pengklarifikasian yang beragam.
Diantaranya ialah bila sebuah hadits dilihat dari diterima atau tidaknya maka
diperkenalkanlah hadits مقبول (yang
diterima) dan hadits مردود (yang ditolak)[1] dan dari hadits mardud
inilah terbagi bermacam-macam hadits yang kesemuanya tidak dapat diterima
disebabkan berbagai alasan. Dari semua hadits mardud, hadits yang paling
tidak diterima bahkan haram dalam meriwayatkannya secara muthlaq adalah
hadits maudhu’.[2]
Hadits maudhu’ yang biasa disebutkan dengan
hadits palsu ini mempunyai arti yang beragam namun berintisari sama. Secara
etimologi kata-kata maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari وضع
الشّيء yang sama dengan حطّه yang berarti turun atau murah.[3]
Dinamakan demikian, karena hadits maudhu’ terkesan murahan disebabkan sisi
keautentikannya yang menurun.[4]
Selain itu memiliki arti menggugurkan, misalnya kalimat وضع
الجناية عنه (hakim
menggugurkan hukuman dari seseorang), juga bermakna التّرك
(meninggalkan), misalnya ungkapan إبل
موضوعة(unta
yang ditinggalkan di tempat pengembalaannya). Selain itu juga bermakna الإفتراء
و الاختلاف (mengada-ngada
dan membuat-buat), misalnya kalimat وضع
فلان قصّة (Fulan
mengada-ngada suatu cerita).[5]
Adapun secara terminologi, menurut Sayyid
Alawi hadits maudhu’ adalah hadits berbentuk khobar yang dibuat-buat,
mengandung unsur kebohongan serta dinisbatkan kepada Rasulullah, sahabat, dan
tabiin.[6] Lain lagi dengan Ustadz Hasan Muhammad yang
berasumsi sangat padat namun sejatinya memiliki arti yang sama. Beliau
kemukakan dalam kitab karangannya Rof’u Al-Astar Syarakh Ar-Raji Al-Fauz ‘Ala
Ash-Shirat bahwa hadts maudhu’ adalah hadits bohongan yang disandarkan pada
rasulullah.[7]
Dari
kedua pengertian di atas, kita tentunya bisa menyadari bahwa hadits maudhu’
bukanlah merupakan hadits yang sebenarnya dan bukan merupakan pedoman yang
bersumber dari Rasulullah. Bahkan hadits maudhu’ hanyalah berita bohong atau
argumentasi murahan dengan cara direkayasa atas nama Rasulullah SAW agar dapat
dengan mudahnya dipercaya oleh para pendengarnya.
Hal ini pula merupakan penipuan yang teramat
besar. Seorang muslim
seperti kita tentunya perlu tahu akan hal tersebut, sehingga dapat segera
diluruskan agar tidak menyebar ke masyarakat luas. Apalagi bagi orang yang
masih dangkal akan agama dan ilmu hadits. Orang-orang seperti itulah yang mudah
menjadi sasaran dari mereka para penebar hadits maudhu’.
Perlu
dikonsumsi pula oleh para pembaca, hadits maudhu’
merupakan hadits terburuk dalam kategori hadits dhoif. Namun, sebagian ulama
menganggap atau memperhitungkan bahwa maudhu’at (hadits maudhu’) adalah
bagian yang terpisah atau tidak termasuk dalam kategori hadits dhoif.[8]
Hadits
dhoifpun sebenarnya tidak begitu layak untuk digunakan. Apalagi dalam bentuk
pengamalan yang berkaitan akan hukum halal dan haram. Namun sejatinya hadits
dhoif masih berlabelkan nama hadits, karena sebab kedhoifannya hanya
dilatarbelakangi oleh perawi yang tidak terpercaya dari segi hafalannya,
runtutan sanad yang lemah dan lainnya. Hadits dhoifpun masih diterima
pengamalannya dan periwayatannya dalam pembahasan mengenai fadhoil al-a’mal,
targhib, tarhib, dan dzikr al-birr.[9]
Beda halnya dengan hadits maudhu’ yang secara muthlaq diharamkan dan
dihukumi bathil.[10]
Tehnik dalam pembentukan hadits maudhu’pun
beragam. Para wadhi’ (pembuat hadits maudhu’) terkadang mengarang suatu
perkataan buatan dan meriwayatkannya dengan mengatasnamakan asma Rasulullah
SAW. Diantara mereka juga ada yang mengambil perkataan para ahli hikamh atau
lainnya dan mengemukakannya sebagai hadits. Ada juga yang meriwayatkan hadits,
namun hadits yang diriwayatkannya ternyata salah. Sehingga menyerupai hadits
maudhu’ dan tidak didasari atas kesengajaan. Seperti yang terjadi pada Thabit
Bin Musa Az-Zahid dalam hadits :
من
كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار
Yang artinya : “Barang siapa yang melakukan salat di waktu
malam, wajahnya akan baik tatkala siang. ”
Ada pula yang menyebutkan hadits secara keliru dengan didasari
kesengajaan dan dihukumi muthlaq hadits maudhu’.[11]
Adapun
kata-kata yang dipakai untuk nama-nama lain dari hadits maudhu’ adalah Al-Mukhtalaqu,
Al-Mashnu, dan Al-Makdzub. Kata-kata tersebut memiliki arti yang hampir
sama. Pemakaian kata-kata tersebut adalah lebih mengokohkan (ta’kid)
bahwa hadits semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasulullah SAW.[12]
B.
SEJARAH MUNCULNYA HADITS MAUDHU’
Masuknya secara
masal penganut agama lain ke dalam islam yang merupakan akibat dari keberhasilan dakwah islamiyah ke
seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya
hadits-hadits maudhu’. Kita tidak bisa menafikan bahwa masuknya mereka ke dalam
islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh para da’i, ada juga segolongan dari mereka yang menganut agama Islam
hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam saat itu. Golongan ini kita
kenal dengan kaum munafik.[13]
Golongan
munafik tersebut senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan
penganutnya. Mereka senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk merusak dan
menimbulkan keraguan dalam hati orang-orang Islam.
Datanglah waktu
yang ditunggu oleh mereka. Yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Utsman Bin
Affan (w.35 H). golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang
pertama. Salah seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada
masa Utsman Bin Affan adalah Abdullah Bin Saba’, seorang penganut Yahudi yang
menyatakan diri telah masuk Islam.
Dengan
bertopengkan pembelaan terhadap Sayyidina Ali dan ahli bait, dia
menjelajah ke segenap penjuru kota untuk menaburkan fitnah kepada orang banyak.
Dia mengatakan bahwa Ali (w.40 H) lebih berhak menjadi khalifah daripada
Utsman, bahkan lebih berhak daripada Abu Bakar (w.13 H) dan Umar (w.23 H). Hal
itu dikarenakan, menurut Abdullah Bin Saba’, sesuai dengan wasiat nabi SAW.
Lalu, untuk mendukung propaganda tersebut, dia membuat suatu hadits maudhu’
yang artinya “Setiap nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku
adlah Ali”.
Namun
penyebaran hadits maudhu’ pada masa tersebut masih belum begitu mulus karena
masih banyak sahabat utama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin
akan kepalsuan suatu hadits. Sebagai contoh, Sayyidina Utsman, ketika beliau
mengetahui hadits maudhu’ yang dibuat oleh Ibnu Saba’, beliau mengambil
tindakan dengan mengusir Ibnu Saba’ dari Madinah. Begitu juga yang dilakukan
oleh Sayyidina Ali setelah beliau menjadi khalifah.
Para sahabat
ini mengetahui bahaya dari hadits maudhu’ karena ada ancaman yang keras dari
Rasulullah SAW terhadap orang yang memalsukan hadits. Sebagai mana sabda Nabi
SAW;
Yang artinya : “Barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, dia telah mengambil tempatnya di dalam
neraka”.[14]
Walaupun
begitu, golongan ini terus mencari-cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya
pembunuhan Utsman. Kemudian, muncul golongan-golongan, seperti golongan yang
ingin menuntut bela atas kematian Utsman, golongan yang mendukung Ali, dan
golongan yang tidak memihak pada keduanya. Kemudian, untuk mempengaruhi orang
banyak supaya memihak pada golongannya masing-masing, orang-orang munafik dari
masing-masing golongan tersebut membuat hadits-hadits palsu yang menunjukkan
kelebihan dan keunggulannya.[15]
Diriwayatkan
oleh Imam Muslim (w.261 H) dari Thawus (w. 106 H) bahwa pernah suatu ketika
dihadapkan kepada Ibnu Abbas (w.68 H) suatu kitab yang di dalamnya mengandung
keputusan-keputusan Ali ra. Lalu Ibnu Abbas menghapusnya, kecuali sebagian
kecilnya (yang tidak dihapus). Sufyan bin Uyainah (w.178 H) memperkirakan
bagian yang tidak dihapus itu sekitar sehasta.
Imam Al-Zahabi
(w. 748 H) juga meriwayatkan dari Khuzaimah bin Nasr. Katanya, “Aku mendengar
Ali berkata di Shiffin, mudah-mudahan Allah melaknat mereka (yaitu golongan
putih yang telah menghitamkan) karena telah merusak hadits-hadits Rasulullah.
Menyadari hal ini, para sahabat awal memberikan perhatian terhadap hadits yang
disebarkan oleh seseorang. Mereka tidak akan mudah menerimanya, sekiranya
mereka meragukan keshohihan hadits ini dan itu.
Setelah zaman
sahabat berlalu, penelitian dan penilaian terhadap hadits-hadits Nabi SAW kian
melemah. Ini menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadits yang
secara tidak langsung berisi konteks pendustaan terhadap Rasulullah dan
sebagian sahabat. Diperparah lagi dengan adanya konflik politik diantara umat Islam
yang terjadi pada tahun ke 41 H, sehingga umat Islam terbagi ke dalam golongan
Syiah, Khawarij dan Jumhur. Dari hal itu pula, bila hadits palsu sudah banyak
disebarluaskan oleh masing-masing golongan, Ahlu Bid’ahpun akan semakin berpeluang
dengan didukung hadits palsunya.
Sebagai contoh,
pernah terjadi di zaman kekholifan Bani Abbasiyah, hadits maudhu’ dijadikan
alternatif untuk mengambil hati para khalifah. Seperti kisah Ghiyats bin
Ibrahim An-Nakha’i bersama Amirul Mukminin Al-Mahdi. Ketika Ghiyats datang
kepada beliau yang sedang bermain merpati, lalu dia menyebutkan hadits dengan
sanadnya secara berurutan sampai kepada Nabi SAW :
لا سبق إلاّ في نصل و خفّ أو حافر أو جناح
Yang artinya : “Tidak ada
perlombaan kecuali dalam anak panah, ketangkasan, menuggang kuda atau burung
yang bersayap”.
Dia menambahkan
kalimat “burung bersayap” untuk menyenangkan Al-Mahdi. Lalu Al-Mahdi memberinya
sepuluh ribu dirham. Setelah Ghiyats berpaling, Al-Mahdi berkata, “Aku bersaksi
bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW”. Lalu beliau
memerintahkan untuk menyembelih merpatinya itu.[16]
Walaupun
begitu, tahap penyebaran hadits-hadits maudhu’ pada masa ini belum berjalan
lancar dibandingkan pada masa setelahnya. Hal ini karena masih banyaknya
tabi’in yang menjaga hadits dan memperjelas diantara yang shohih dan yang
lemah. Lagi pula, zaman ini masih dianggap hampir se-zaman dengan Nabi Muhammad
SAW yang disebut oleh Nabi sebagai Sebaik-baiknya zaman. Pengajaran serta
wasiat dari Rasulullahpun masih segar di kalangan mereka yang bersumber dari
sahabat, sehingga mereka dapat menganalisa kepalsuan dari sebuah hadits.
C.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MELATAR BELAKANGI MUNCULNYA HADITS MAUDHU’
Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab hadits maudhu’ ini
muncul, diantaranya sebagai berikut ;
1.
Pertentangan
Politik Soal Pemilihan Kholifah
Pertentangan diantar umat Islam timbul setelah terjadinya
pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan
kekholifahan diganti oleh Ali bin Abi Thalib.
Umat Islam pada saat itu terpecah belah menjadi beberapa golongan,
seperti golongan yang ingin menuntut bela atas kematian khalifah Utsman, dan
golongan yang mendukung kekhalifahan Sayyidina Ali (Syiah). Setelah perang
Shiffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan
pendukung Muawiyah (w.60 H). Dalam mendukung golongannya, masing-masing dari
tiap golongan sama-sama membuat hadits maudhu’. Golongan pertama dan terbanyak
dalam meriwayatkan hadits maudhu’ adalah golongan Syiah dan Rafidhah.[17]
Orang-orang Syiah membuat hadits maudhu’ tentang
keutamaaan-keutamaan Ali dan Ahli Bait. Disamping itu mereka membuat
hadits maudhu’ dengan maksud mencela dan mejelek-jelekkan Abu Bakar ra. Dan
Umar ra.
Diantara hadits yang dibuat oleh golongan Syiah adalah,
من أراد أن ينظر إلى أدم في علمه و إلى نوح في تقواه و إلى إبراهيم في
حلمه و إلى موسى في هيبته و إلى عيسى في عبادته فلينظر إلى عليّ
Artinya : “Barang siapa yang ingin melihat Adam tentang
ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh tentang ketaqwaannya, ingin melihat
Ibrohim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat Musa tentang kehebatannya,
ingin melihat Isa tentang ibadahnya. Hendaklah ia melihat Ali”.[18]
إذا رأيتم معاوية فاقتلوه
Artinya : “Apabila kamu melihat Muawiyah di atas mimbarku,
bunuhlah dia”.[19]
Gerakan-gerakan Syiah tersebut diimbangi oleh golongan Jumhur yang
bodoh dan tidak tahu akibat dari pemalsuan hadits tersebut dengan membuat
hadits-hadits palsu. Contoh hadits palsunya adalah ;
ما في الجنّة شجرة إلا مكتوب على كلّ ورقة منها : لا إله إلاّ الله
محمّد الرّسول الله ، ابو بكر الصّدّيق ، عمر الفاروق ، عثمان ذو النّورين.
Artinya : “Tak ada satu pohonpun dalam surga melainkan tertulis
pada tiap-tiap daunnya : Lailahaillah Muhammadur Rasulullah, Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar Al-Faruq, dan Utsman Dzun-Nuroin”[20]
Golongan yang fanatik pada Muawiyah membuat pula hadits palsu yang
menerangkan keutamaan Muawiyah, diantaranya ;
الأمناء ثلاثة : أنا و جبريل و معاوية
Artinya : “Orang yang terpercaya itu ada tiga yaitu: Aku,
Jibril, dan Muawiyah”.[21]
Perlu ditegaskan disini, bahwa walaupun golongan Khawarij merupakan
golongan yang keluar dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak suka
membuat hadits maudhu’ untuk menguatkan madzhabnya. Jadi, tidak benar jika ada
ulama yang mengatakan bahwa golongan Khawarij dalam memperkuat madzhabnya
membuat hadits maudhu’.
Hal ini seperti dikatakan oleh Abu Dawud bahwa tidak ada di dalam
golongan pengikut nafsu yang lebih benar dan shohih haditsnya selain golongan
Khawarij.[22]
Mereka tidak melakukan pemalsuan hadits dikarenakan oleh doktrin mereka yang
mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedangkan dusta merupakan
dosa besar, apalagi dusta atas nama Rasulullah.
2.
Adanya
Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Agama Islam
Golongan yang termasuk dalam poin kedua ini terdiri dari golongan
Zindik, Yahudi, Majusi dan Nasrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap
agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka,
maka mereka mengambil jalan ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadits
maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran agama Islam.
Faktor ini merupakan faktor awal munculnya hadits maudhu’. Hal ini
berdasarkan peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah belah umat Islam
dengan bertopeng kecintaan kepada Ahli Bait. Sejarah mencatat bahwa ia
adalah seseorang Yahudi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu,
ia berani menciptakan hadits maudhu’ pada saat masih banyak sahabat yang hidup.
Diantara hadits maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang Zindiq
adalah ;
ينزل ربّنا عاشية على جمل أورق ، يصافح
الرّكبان و يعانق المشاة
Artinya : “Tuhan kami turun dari
langit pada sore hari di Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil
berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang
yang sedang berjalan”.[23]
النّظر إلى الوجه الجميل عبادة
Artinya : “Memandang wajah yang
rupawan adalah ibadah”.[24]
Tokoh-tokoh
terkenal pembuat hadits maudhu’ dari golongan zindiq ini adalah:
a.
Abdul
Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadits maudhu’ tentang hukum
halal-haram. Akhirnya ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman, wali kota
Basrah.
b.
Muhammad
bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Jakfar Al-mansur.
c.
Bayan
bin Sam’an Al-mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.
Khalifah yang
sangat keras membasmi gerakan golongan Zindiq adalah khalifah Al-Mahdy dari
dinasti Abbasiyah.
3.
Mempertahankan
Madzhab dalam masalah fiqih dan Masalah Kalam
Para pengikut
madzhab fikih dan pengikut ulama kalam yang bodoh dan dangkal ilmunya membuat
pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan faham-faham pendiri imamnya. Semisal,
mereka yang fanatik terhadap Abu Hanifah yang menganggap tidak sah bila
mengangkat kedua tangan dikala shalat juga membuat hadits maudhu’ sebagai
berikut.
من رفع يديه في الصّلاة فلا صلاة له
Artinya : “Barang siapa
mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka shalatnya tidak sah”.
Begitu pula
bagi golongan Mutakallimin. Golongan ini mengkafirkan orang yang berpendapat
bahwa AL-Quran adalah ciptaan baru (makhluq). Dari hal itu, mereka mengeluarkan
hadits palsu dengan disandarkan kepada Rasulullah yang berbunyi :
كلّ من في السّموات و الأرض وما بينهما فهو
مخلوق غير الله و القرأن ، سيجيء أقوام من أمّتي يقولون : القرأن مخلوق فمن قال
ذلك فقد كفر بالله العظيم و طلّقت منه إمرأته من ساعدها
Artinya : “Setiap yang ada di
langit, bumi dan diantara keduanya adalah makhluq, kecuali Allah dan Al-Quran.
Kelak, akan datang kaum dari umatku yang mengatakan bahwa Al-Quran itu adalah
makhluq. Oleh karena itu, barang siapa yang mengatakan demikian sungguh kafir
terhadap Allah yang maha besar, dan tertalaqlah istrinya sejak saat itu”.[25]
4.
Membangkitkan
Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Mereka
membuat-buat hadits palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka sajikan ataupun dorongan
untuk meningkatkan amal, melalui hadits tarhib wa targhib
(anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang
dipandang baik). Namun sayang, mereka malah mempraktekannya dengan cara yang
berlebihan.
Salah
satu diantara mereka adalah Nuh ibn Abi Maryam yang membuat hadits tentang
keutamaan Al-Quran. Ketika ditanya alasannya melakukan hal demikian, ia
menjawab, “saya dapati manusia telah bepaling dari membaca Al-Quran. Maka saya
membuat hadits-hadits ini untuk menarik minat umat kembali kepada Al-Quran”.
Begitu pula
kisah Maisaroh bin Abdi Robbihi yang diriwayatkan dari ibnu Hibban dari ibnu
mahdi bahwa Ibnu Mahdi berkata : “Aku berkata kepada Maisaroh bin Abdi Robbihi”
“Dari mana kamu dapatkan hadits ini, siapa membaca demikian maka ia harus
diberi pelajaran demikian?” Maisaroh menjawab : “Aku memalsukannya untuk
menarik perhatian manusia”.[26]
5.
Menjilat
Para Penguasa untuk mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama su’
membuat hadits palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para
penguasa. Sehingga para penguasa akan merasa senang dan tidak segan-segan
memberikan upah atau hadiah dan menempatkan mereka di dalam pemerintahan.
Seperti kisah
Ghiyats bin Ibrohim An-Nakha’i yang datang kepada Amirul Mukminin dikala beliau
sedang bermain merpati seperti yang sudah diceritakan di awal.
6.
Sebagai
Bentuk Mata Pencaharian dan Penghasil Rizki
Hal yang
demikian banyak dilakukan oleh para ahli cerita melalui pekerjaan dengan
bercerita pada manusia berdasarkan hadits maudhu’ yang dibuatnya. Mereka
menceritakan hal-hal takjub sehingga manusia mendengarkannya dan mentaatinya,
seperti Abi Sa’id Al-Madaini.
7.
Alternatif
Ahli Fatwa di saat Melakukan Kesalahan
Disaat para
mufti melakukan kesalahan dalam fatwanya, hadits maudhu’ akan sangat berguna
pada saat itu. Semisal, di tengah fatwanya mereka ditentang oleh salah seorang
pendengarnya. Sehingga untuk mempertahankan harga diri, merekapun membuat
hadits maudhu’ dengan mudahnya. Seperti halnya yang dilakukan oleh Abu
Al-Khottob bin Dahiyah dan Abdul Aziz bin Al-Haris Al-Hambali.
8.
Sebagai
bentuk Pengajaran Terhadap Anak
Para orang tua
terkadang haus akan teori dan metode dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka
bahkan berlebih-berlebihan dalam hal tersebut sampai nekat untuk memalsukan
hadits. Mereka melontarkan haditsnya, meyakinkan akan keshohihannya, dan
meriwayatkannya setelah itu.
D.
CIRI-CIRI HADITS MAUDHU’
Jika kita sudah
mengenal latar belakang hadits maudhu’, maka ciri-cirinyapun perlu kita ketahui.
Para ulama muhadditsin, di samping membuat kaidah-kaidah untuk
mengetahui sahih, hasan, atau dhaif suatu hadits. Mereka juga menentukan
ciri-ciri untuk mengetahui kemaudhu’an suatu hadits. Kemaudhu’an suatu hadits
dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
1.
Ciri-Ciri
yang Terdapat pada Sanad
Terdapat
banyak ciri-ciri kemaudhu’an hadits yang terdapat pada sanad. Ciri-ciri
tersebut adalah :
a.
Rawi
tersebut terkenal pendusta dan tidak ada seorang perawi terpercaya yang
meriwayatkan hadits darinya.
b.
Perawinya
mengaku bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah hadits buatan. Seperti
pengakuan seorang guru tasawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang
keutamaan ayat-ayat Al-Quran. Sehingga iapun serentak menjawab, “tidak
seorangpun yang meriwayatkan hadits kepada kami. Akan tetapi, sejenak kami
melihat manusia membenci Al-Quran. Kami ciptakan untuk mereka hadits ini agar
mereka menaruh perhatian kembali terhadap Al-Quran”.[27]
c.
Kenyataan
sejarah yang tidak memungkinkan. Misalnya seorang rawi mengatakan bahwa ia
menerima hadits dari seorang guru. Padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut. Bisa saja ia lahir setelah guru tersebut meninggal. Misalnya ketika
Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia mengaku menerima hadits dari Hisyam
ibn Amr kepada ibn Hibban. Maka ibn Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke
Syam?”. Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H”. mendengar hal itu ibnu Hibban
berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H”.
d.
Keadaan
rawi disertai faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Seperti
halnya kisah Ghiyats bin Ibrohim sebelumnya. Tingkah laku semacam itu menjadi
qorinah untuk menetapkan kemaudhu’an suatu hadits.
2.
Ciri-Ciri
yang Terdapat pada Matan
Selain pada
sanad, ciri-ciri hadits maudhu’ juga dapat ditemukan pada matan. Diantaranya
sebagai berikut :
a.
Keburukan
Susunan lafadznya
Ciri
ini akan mudah diketahui setelah kita mendalami ilmu Bayan yang terdapat dalam
pembahasan Balaghah. Dengan ilmu Bayan, kita akan merasakan susunan kata dalam
hadits. Sehingga kita bisa mengetahui mana yang mungkin keluar dari lisan Nabi
SAW dan mana yang tidak disabdakan Nabi SAW.
b.
Kerusakan
maknanya
1.
Karena
berlawanan dengan akal sehat, seperti hadits :
إنّ سفينة نوح طافت
بالبيت سبعا و صلّت بالمقام ركعتين
Yang artinya “Sesungguhnya bahtera Nuh
berthawah tujuh kali keliling ka’bah dan bersembahyang di maqam Ibrohim dua
rokaat”.
2.
Karena berlawanan dengan hukum akhlaq yang umum
atau menyalahi kenyataan, seperti hadits :
لا يولد بعد المائة
مولود لله فيه حاجة
Yang artinya “Tiada dilahirkan seorang
anak sesudah tahun seratus, yang ada padanya keperluan bagi Allah”.
3.
Karena bertentangan dengan ilmu kedokteran.
Seperti hadits :
البادنجان شفاء من
كلّ شيء
Yang artinya “Buah terong itu
penawar bagi segala penyakit”.[28]
4.
Karena menyalahi aturan yang ditetapkan akal
terhadap Allah. Akal menetapkan bahwa Allah suci dari serupa dengan makhluqnya.
Oleh karena itu, kita menghukumi palsu hadits berikut :
إنّ الله خلق الفرش
فأجراها فعرقت فخلق نفسها منها
Yang artinya “Sesungguhnya Allah
menjadikan kuda betina, lalu ia memacukannya, maka berpeluhlah kuda itu, lalu
tuhan menjadikan dirinya dari kuda itu”.[29]
5.
Karena menyalahi hukum Allah dalam menetapkan
alam. Seperti hadits yang menerangkan bahwa ‘Auj ibn “Unuq yang mempunyai
panjang tiga ratus hasta. Ketika nabi Nuh menakutinya dengan air bah, ia
berkata, “Bawalah aku ke dalam piring mangkukmu ini”. Ketika topan menjadi, air
hanya sampai pada tumitnya saja. Kalau mau makan, ia cukup memasukkan tangannya
ke dalam laut, membakar ikan yang diambilnya ke panas matahari yang tidak
seberapa jauh dari ujung tangannya.
6.
Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak
masuk akal sama sekali. Seperti hadits :
الدّيك الأبيض حبيب و
حبيب حبيبي جبريل
Yang artinya “Ayam putih adalah
kekasihku dan kekasi dari kekasihku adalah Jibril”.
7.
Bertentangan dengan Keterangan Al-Quran, hadits
Mutawatir, dan kaidah-kaidah kulliyah. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya
bertentangan dengan Al-Quran adalah hadits berikut :
ولد الزّنا لا يدخل
الجنّة إلى سبعة أبناء
Yang artinya “Anak zina itu tidak
dapat masuk surga sampai tujuh turunan”.
Makna
dari hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am ayat 164, yaitu :
wur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 4 ÇÊÏÍÈ
Yang
artinya : “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
(Q.S. Al-An’am : 164)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa
seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Seorang anak sekalipun
tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
Contoh hadits maudhu’ yang
bertentangan dengan hadits mutawatir yaitu :
من ولد له ولد فسمّاه محمّدا كان هو و
مولوده في الجنّة
Yang
artinya “barang siapa yang melahirkan seorang anak, kemudian ia namai Muhammad,
ia dan anaknya akan masuk surga”.
Hadits
tersebut bertentangan dengan kaidah umum bahwa yang masuk surga adalah mereka
yang melakukan amalan shaleh, bukan karena nama atau gelar.
8.
Menerangkan
suatu pahala yang teramat besar terhadap perbuatan yang teramat kecil, atau
siksa yang besar terhadap suatu perbuatan yang kecil seperti yang tersirat dalam kitab-kitab
klasik.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang telah diuraikan mulai dari depan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pengetian hadits maudhu’ secara etimologi adalah حطه yang
berarti turun atau murah. Adapun secara terminologi hadits maudhu’ adalah suatu
kabar yang dibuat-buat, mengandung kebohongan serta dinisbatkan kepada
Rasulullah, sahabat, ataupun tabi’in.
Sejarah
munculnya hadits maudhu’ dimulai pada tahun ke 41 H, di saat terjadinya perang
politik yang menyebabkan umat Islam terpecah belah dan membuat golongan
sendiri-sendiri. Di dalam memperkokoh golongannya, mereka tak hanya berbaur
dalam dunia politik. Sehingga perbedaan faham akan ilmu agama juga sering
terjadi, dan pada saat itulah mereka dengan mudahnya memalsukan hadits.
Meskipun pada saat itu, usaha mereka dalam memalsukan hadits memperoleh
kegagalan karena para sahabat masih banyak yang hidup.
Adapun
faktor utama dari kemunculan hadits maudhu’ selaras dengan yang terjadi pada
pembahasan sejarahnya, berupa pertentangan politik dalam soal pemilihan kholifah.
Ditambah lagi beberapa faktor yang datangnya dari luar Islam dan berniat untuk
menghancurkan Islam, seperti golongan Zindiq. Ada pula yang memalsukan hadits
hanya untuk kepentingan pribadinya, seperti mencari perhatian pada pemerintah
atau sebagai bentuk mata pencaharian. Namun, kadangkala dalam pemalsuan hadits
ditujukan pada hal yang berdampak positif. Semisal, membangkitkan gairah
beribadah untuk mendekatkan diri pada Allah atau sebagai bentuk pembelajaran
karakter terhadap anak. Tapi sayangnya, hal demikian terlalu berlebihan.
Dimulai
dari devinisi hadits maudhu’ sampai faktor kemunculannya, hadits maudhu’ adalah
begitu berbahaya. Terutama bila hal itu terdengar hingga ke telinga orang-orang
awam. Maka perlu adanya pengklarifikasian mengenai ciri-ciri hadits maudhu’.
Ciri-ciri hadits maudhu’ meliputi pada aspek sanad dan matan. Semisal, rawi
merupakan seorang pendusta, pengakuan dari periwayatnya, atau maknanya
berlawanan dengan akal sehat, dan sebagainya.
Setelah
kita mengetahui akan ciri-ciri hadits maudhu’, haruslah kita untuk berhati-hati
dengannya. Ulamapun telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkannya
adalah haram muthlaq. Bahkan Imam Al-Juaini dengan berani mengkafirkan
para pendusta tersebut.
Karena
dianggap penting, para ulama hadits berhasil mengumpulkan hadits maudhu’ dalam
sejumlah karya yang cukup banyak. Hal itu didasari dengan berbagai kaedah studi
kritis hadits yang mereka kembangkan.
B.
SARAN
Dalam
menjalani roda kehidupan yang tidak akan pernah sistematis atau dinamis ini,
patilah kita tidak akan terlepas dari kehidupan sosial. Meskipun hal tersebut
belum tentu mengikat. Tapi interaksi tentulah perlu, karena dengan adanya
interaksi semua akan terasa mudah.
Namun,
dalam menentukan adanya suatu interaksi terhadap orang lain, pintar-pintarlah
dalam memilih lawan interaksi kita. Interaksi memang perlu tapi tidak bagi
semua orang. Pasti diantara kebanyakan orang yang kita kenal, tidak semuanya
baik, dan hal yang demikian merupakan fakta alam. Sebagaimana halnya pepatah
arab mengatakan :
امش في طريق الله # لا تبال احدا
فإنّ لكلّ احد # محبّا و مغضبا
Yang artinya “Berpegang teguhlah pada jalan
Allah, dan jangan perdulikan orang lain, karena setiap orang pastilah ada yang
menyukainya dan membencinya”.
Perlu ditegaskan kembali, kita bukannya
dilarang untuk berinteraksi, namun dalam interaksi dibutuhkan adanya
kehati-hatian dalam memilih lawan interaksi. Apalagi terhadap hal-hal yang
mereka lontarkan pada kita. Karena kedustaan dari sebuah perkataan itu mudah
penyebarannya. Sehingga berhati-hatilah terhadap dalil-dalil dari orang lain
yang terkadang mengada-ngada. Karena biasanya kita tidak tahu bahwa diantara
kita berkeliaran para penebar hadits palsu. Wallahu ‘alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abu Ghudah, Abdul Fatah. Tanpa Tahun. Lamhat Min Tarikh
As-Sunnah Wa Ulum Al-hadits. Tanpa Tempat : Tanpa Penerbit.
Ø Al-Husni, Muhammad Alawi Al-maliki. 1990. Al-Manhal Al-Lathif Fi
Ushul Al-Hadits Asy-Syarif. Mekah : Tasrihu Wizaroh Al-I’lam.
Ø Al-Husni, Muhammad Alawi Al-maliki. Tanpa Tahun. Al-Qowaid
Al-Asasiyah Fi Ilmi Mushtholahi Al-Hadits. Surabaya : Toko Kitab
Al-Hidayah.
Ø Al-madury, Muhammad Jufriyadi Sholeh. 2013. Al-Wajiz Fi
Mushtholahi Al-Hadits. Madura : PP. Mambaul Ulum Bata-Bata.
Ø Al-Masyat, Hasan Muhammad. Tanpa Tahun. Rof’u Al-Astar.
Tanpa Tahun : Tanpa Penerbit.
Ø An-nawawi, Al-Imam. Tanpa Tahun. Muqoddimah Shohih Muslim. Tanpa
Tempat : Tanpa Penerbit.
Ø An-Nuri, Hasan Sulaiman & Al-maliki, Alawi Abbas. Tanpa Tahun. Ibanatul
Ahkam. Surabaya : Maktabah Al-Hidayah.
Ø Ash-Shiddiqie, M. Hasbi. 1987. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.
Jakarta : Bulan Bintang.
Ø Asy-Syahbah, Muhammad bin Muhammad. 1978. Taisiru Mustholahi
Al-Hadits. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.
Ø Sholahuddin, M. Agus & Suyadi, Agus. 2009. Ulumul hadits.
Bandung: Pustaka Setia.
Ø Yunus, Muhammad. 2010. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta : PT.
Mahmud Yunus Ad- Durriyah.
[1]
Hasan Sulaiman
An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, Surabaya; Maktabah Hidayah,
t.th, p.14
[2]
Mohammad
Jufriyadi Sholeh Al-Madury, Al-Wajiz Fi Mushtholahi Al-Hadits, Madura;
t.p,2013, p.09
[3]
Prof. Dr. H.
Mohammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta; PT Mahmud Yunus Ad-Durriyah,
2010, p.105
[4]
Dr.Mohammad
Ath-Thahhan, Taisiru Mushtholahi Al-Hadits, t.t; t.p, 1978, p.88
[5]
Dr. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag, Ulumul Hadits, Bandung; Pustaka
Setia, 2009, p.171
[6]
Sayyid Muhammad
Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-manhal Al-Lathif Fi Ushul Al-Hadits Asy-Syarif,
Mekkah; Tashrih Wizaroh Al-I’lam, 1990, p.155
[7]
Hasan Muhammad
Al-Masyat, Rof’u Al –Astar, t.t; t.p, t.th, p.112
[8]
Dr. Mohammad
Ath-Thahhan, Taisiru....................................................................................... p.89
[9]
Muhammad Bin
Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-Qowaid Al-Asasiyah Fi Ilmi Mushtholahi Al-Hadits,
Surabaya: Toko Kitab Al-Hidayah, t.th, p.28
[10]
Muhammad Bin
Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-Qowaid......................................................... p.56
[11]
Sayyid Muhammad
Alawi Al-Maliki Al-Husni, Al-manhal..................................................... p.55-56
[12]
Dr. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag, Ulumul................................ p.172
[13]
Muhammad Bin
Muhammad Ash-Shahbah, Al-Israiliyat Wa Al-Maudhu’at Fi Kutubi At-Tafsir, t.t:
t.p, t.th, p.20
[14]
Al-Imam
An-Nawawi, Muqoddimah Shahih Muslim, t.t: t.p, t.th, p.20-21
[15] Abdul Fattah
Abu Ghudah, Lamhaat min Tarikh As-sunnah Wa Ulumul hadits, t.t : t.p, t.th,
p.20-21
[16] Drs. M. Agus
Solahuddin, M.Ag. & Agus Suyadi, M.Ag. Lc., Ulumul................................... p.174.
[17] M. Hasbi
As-Shiddiqie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987,
p.246
[18]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.177
[19]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.177
[20]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.177
[21]
Drs. M. Agus Sholahuddin,
M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.177
[22]
M. Hasbi
As-Shiddiqie, Sejarah................................................................................................... p.248
[23]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.178
[24]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.178
[25]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul.............................. p.179
[26]
Dr. Mohammad
Ath-Thahhan, Taisiru...................................................................................... p.90
[27]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................ p.182
[28]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................ p.183
[29]
Drs. M. Agus
Sholahuddin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M. Ag, Ulumul............................ p.184