Rabu, 16 November 2016

ARTIKEL HAJI

IDENTITAS MENGHANTARKAN LEGALITAS

Oleh : Moh. Abdul Majid Al Ansori

Manasik haji yang sakral kini telah menanti. Menunggu keberangkatan meski nyatanya akan berpulang. Begitu pula disaat kepulangan pun tiba, disanalah akan dimulai keberangkatan mengarungi pentas lanjutan. Entah apa yang dicari, karena keberangkatan yang sebenarnya terletak pada ujung purnama bulan disaat kita telah pulang nanti. Entah akan lebih baik atau malah menjadikan baik.

            `Potret haji kekinian mulai mengalami siklus vertikal secara bertahap. Hal ini memberikan poin sentral bahwa status sosial masyarakat Islam sedang membaik. Berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat era 70-an dan 80-an bahkan sebelumnya yang harus mengikuti perjalanan haji selama berbulan-bulan di tengah lautan lepas, itupun masih belum ada jaminan akan subtansi keselamatan bagi para jamaah.
            Bisa dibilang sungguh lamanya tour asli religi itu. Dalam catatan sejarah perbukuan, seorang penulis era 1950an bernama Hamka yang pada akhir kepulangannya dari tanah suci, aktif di organisasi Muhammadiyah dan menjadi direktur majalah terkenal memiliki kisah mengagumkan. Tiga buku fenomenal dengan judul Mandi Cahaya di Tanah Suci, di Tepi Sungai Dajlah, dan Mengembara di Sungai Nil berhasil ditulisnya dalam perjalanan suci tersebut. Hal ini menandakan betapa lamanya perjalanan yang ditempuh, dan betapa sulitnya perjuangan yang dilaluinya.
            Terlepas dari pelayaran yang demikian jauh, para jamaah masih diberatkan dengan isak tangis keluarga dan kerabat. Tentunya dengan rona gelisah dan kekhawatiran yang bisa dibilang berlebihan jika dipadukan dengan masa kini. Semua itu terkait akan keselamatan mereka para jamaah di tengah lautan lepas yang sering kali mengundang maut, dan tidak sedikit dari mereka yang akan pulang kembali dengan keadaan tubuh yang terbujur kaku.
            Adapun hari ini, transportasi sudah begitu mumpuni. Usaha-usaha kreatif tengah dikembangkan. Mulai banyak program-program pemerintah dan bantuan dana sosial dari berbagai instansi guna pemberangkatan umroh bahkan haji gratis. Administrasi finansialnya dari tahun ke tahun sudah tidak lagi membengkak dan dapat dikatakan terjangkau secara ekonomis. Kendala yang mungkin menjadi sorotan hanyalah jumlah kursi perorangan yang dapat diberangkatkan tiap tahunnya. Hal itu pun terjadi karena membludaknya pengajuan diri dan mengakibatkan jatah kursi menjadi berdesakan. Hal ini mengindikasikan bahwa begitu simpatinya umat islam kini akan haji meski entah ada tabir hitam putih apa di balik fenomena tersebut. Sehingga penantian dalam jangka waktu yang demikian lama rela mereka pertaruhkan demi menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
            Kesejahteraan masyarakat yang demikian lantas bertransformasi menjadi motivasi tersendiri untuk sama-sama berkompetisi dan seakan-akan dipandang sebagai ajang bergengsi. Walaupun tidak secara esensial menuju pada gerbang kemaslahatan. Anggap saja hal itu diperuntukkan untuk sekedar menyandang gelar kehormatan, ataupun raupan identitas kewibawaan. Meski pada kenyataannya masih ada pula yang menganggapnya sebagai tajuk rencana penyempurnaan pilar-pilar agama, entah seperti apa kuantitas mereka, hal itu masih harus dipertaruhkan secara intensif. Lantas muncul tanda tanya besar di kalangan masyarakat Islam tentang dimanakah yang lantas menjadi pilihan atau tujuan mereka, terlebih pada ritual sakral yang sering kali disebut manasik ini.
            Sematan kata haji pada sebuah nama, nyatanya bukan malah menjadikan para “pak haji” dan “bu haji” menjadi lebih bijak bersikap pada nilai positif gelar hajinya. Karena pada dasarnya, kebanyakan dari mereka berangkat haji berasal mula dari sebuah tenggang rasa akan riuh suasana terhadap orang-orang disekitarnya, dan sepertinya hal itu terlepas dari kehidupan kota  yang dilengkapi hingar bingarnya ataupun kehidupan desa yang disertai kesahajaannya. Semua jelas berdampak sama. Bukti fisik yang seperti itu mengarah pada pagelaran-pagelaran yang ditampilkan menjelang keberangkatan atau ketika berpulang. Itu pun masih jauh dari norma-norma keislaman, meski tampak normatif dalam pandangan masyarakat awam.

Dampak Sebuah Identitas
            Kini identitas yang tengah diperbincangkan dan dijadikan bahan persoalan. Entah sejak kapan dimulainya, namun sorotan publik akan sebuah identitas sungguh begitu menggiurkan, terlebih mengandung impact social yang berkepanjangan. Mencari jubah kewibawaan? Akankah didapatkan? Bukankah malah berujung pada pekatnya kecongkakan? Begitu pula ketika hingar bingar di tikungan jalan sudah mencekam. Lantas adakah nilai sejati dari sebuah ritual suci yang telah mengorbankan unsur badaniyah dan maliyahnya? Sehingga pada dasarnya, masyarakat Islam kini tengah dilanda krisis hakikat kehidupan begitu pula ibadah yang mencapai stadium akhir.
Dampak identitas akan penamaan kata haji memang sudah basi terdengar. Namun sampai saat ini saja, tidak banyak ada perubahan atau adanya malah “menjadikan baik”. Dari buruk dijadikan baik, begitulah. Mengaku akan adanya sebuah legalitas sehingga bebas berkeliaran dari jeratan dan pondasi-pondasi hukum natural Islam. Sudah merasa menjadi orang paling mulya, tahu akan semua permasalahan, dan tidak mengenal bahkan membuat sendiri pada yang namanya aturan.
Begitulah tindak-tanduk sebuah legalitas yang bermula dari identitas pasca terlahirnya seseorang ke dunia barunya. Realita ini tentunya sudah membumi di Indonesia dan entah kapan akhirnya. Lebih parahnya lagi, mereka yang sadar malah turut bungkam, seakan segan padahal mereka tahu bahwa itu adalah suatu kesalahan. Betapa kuatnya sebuah identitas saat ini, benar disalahkan dan salah dibenarkan, hanya karenanya. Ironis sungguh, bila seorang haji malah enggan sholat jum’at, menghadiri pagelaran-pagelaran sensasional, atau malah turut serta dalam pementasan adu ayam jantan. Ketika sebagian orang bertanya, “Siapa dia?” yang lain menjawab, “dia haji bla bla bla”. Ketika ditanya pula, “mana ada pagelaran itu?” jawabannya tidak lain dan tidak bukan, “itu di rumah pak haji bla bla bla”. Apakah ini hanya sebuah rekayasa? Ya, rekayasa kehidupan yang dipertontonkan dan dimainkan oleh aktor-aktor tak beradab. Ending yang pilu atau atau malah mengharu biru, kita hanya bisa menyaksikannya dan mempersiapkan diri semata. Islam adalah agama yang rasional, relevan, dan pastinya berprinsip. Sehingga nihil dikatakan bilamana Islam akan melegalkan pondasi-pondasi hukumnya hanya karena sebuah status sosial yang diagung-agungkan.
            Sehingga esensial dan tujuan dari ritual haji yang diprogramkan dan telah menjadi rutinitas umat Islam malah tidak terwujudkan, jika hanya sebuah identitas yang menjadi bahan incaran. Dikarenakan konsep haji yang sebenarnya, lebih menitik beratkan pada rasa percaya diri dan kerelaan yang berarti bahwasanya diri ini telah memenuhi  panggilan sang ilahi. Para jamaah tentunya tidak mudah dalam mengikuti setiap aktifitas manasik haji. Dimana para jamaah harus wukuf di Arafah dengan cuaca yang mestinya tidak bersahabat. Sudah biasa hidup di wilayah beriklim tropis, malah dituntut dengan kinerja forsiran di tempat beriklim gurun. Begitu pula di saat tawaf, para jamaah harus berusaha berdesak-desakan dengan jamaah lainnya untuk sekedar mengelilingi Ka’bah, melambaikan tangan ke arah Ka’bah, dan sesekali pula mencium Hajar Aswad. Nyawa bahkan bisa menjadi taruhannya. Jadi sangat disayangkan, bila manasik haji yang demikian rumit dan penuh resiko hanya diposisikan pada sebuah tujuan identitas,  terlebih lagi legalitas yang sama sekali tidak sinkron dengan indikasi syariah-syariah terdahulu.
Pada poin inilah terkadang orang banyak menyepelekan konsep sebenarnya dari haji mabrur, sehingga perlu adanya penyeimbang faham diantara pemahaman yang tengah berkembang saat ini. Disebutkan ;
الحج المبرور ليس له جزاء الا الجنة (متفق عليه)
“Tiada lagi balasan teruntuk haji mabrur kecuali surga”
Berbicara panduan hakiki orang berangkat haji, berlandaskan hadits di atas, finishing dari ibadah haji adalah balasan surga. Tentunya semua orang di dunia ini tanpa terkecuali ingin memiliki ending yang baik. Bisa saja kita sebagai umat Islam mengatakannya dengan istilah surga. Urusan masuk surga tergantung kehendak Allah azza wa jalla nantinya. Sulitnya, mabrurkah kita? Mabrurkah haji umat Islam jika alasan utama dalam berhaji adalah reputasi sosial atau identitas maha agung? Haji yang mabrur merupakan ibadah yang mempertemukan antara hati, gerak dan ucapan, ditambah lagi maliyah yang sudah dikeluarkan dengan nominal yang tidak sedikit. Sekaligus tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan dosa dan kesemua ritualnya tertuju pada Allah semata. Kendalanya ada di poin kedua, dimana para jamaah dituntut untuk menata hati. Poin pertama hanyalah sekedar pembahasan formalitas yang sudah nyata wujudnya. Adapun masalah hati, analogi siapapun sulit menerkanya secara pasti.
ما سمي الانسان الا لنسيانه وما سمي القلب الا لتقلبه
"manusia tidak dikatakan insan kecuali karena sifat pelupanya, begitupula hati tidak dikatakan qalb kecuali karena ketidak konsistenannya".
            Lantas, jika munculnya identitas itu dapat disinyalir ke dalam lingkaran syariah, maka sah-sah saja. Bahkan niatan yang demikian jelas akan bernilai ibadah terlebih lagi ensensinya merujuk pada pentingnya jihad fii sabilillah. Bukan lagi pedang dan meriam yang berbicara, melainkan subjektifitas seseorang dalam meniti karir dan kewibawaan yang lantas dijadikan sebuah alternatif menjunjung kehormatan Islam. Misalnya, legalitas haji dijadikan sebagai medan dakwah atau pengabdian dalam menata kinerja masyarakat Islam. Disinilah hikmah haji dapat kita soroti, kewibawaan lantas turut mengalir mengikuti hari-hari sang “pak haji” dengan dentuman kebaikan-kebaikannya. Jelasnya hal ini beda dengan pemaparan sebelumnya yang berkenaan dengan oknum haji pelanggar syariat. Karena mereka hanyalah sampah yang melahirkan wabah dan keresahan bagi masyarakat. Dakwah adalah perkara wajib. Jika haji dapat melegalkan keberlangsungannya, maka haji adalah wasilah yang tentunya akan bernilai tinggi dalam pelaksanaannya. Dari hal itu, reputasi berhikmah ini layak mendapat apresiasi ataupun dukungan serupa.
            Banyak hal yang umat Islam korbankan dalam pelaksanaan haji. Mulai dari materi, waktu, fisik, emosional, dan lain sebagainya yang tentunya tidak mudah dianggap sebagai perkara kecil. Haji memang adalah sebuah rutinitas tahunan, namun sebenarnya tidak bisa disamaratakan dengan tidur ataupun makan yang merupakan rutinitas harian. Karena rutinitas berhaji subtansinya merupakan sebuah ibadah yang sering kali dihapus unsur ibadahnya, dan titik balik kepulangannya tetap berada pada koridor pembatasan yang seharusnya umat Islam temukan disaat beribadah haji itu sendiri.! لبيك اللهم لبيك



2 komentar: