IDENTITAS
MENGHANTARKAN LEGALITAS
Oleh
: Moh. Abdul Majid Al Ansori
Manasik haji yang sakral kini telah menanti. Menunggu keberangkatan
meski nyatanya akan berpulang. Begitu pula disaat kepulangan pun tiba,
disanalah akan dimulai keberangkatan mengarungi pentas lanjutan. Entah apa yang
dicari, karena keberangkatan yang sebenarnya terletak pada ujung purnama bulan
disaat kita telah pulang nanti. Entah akan lebih baik atau malah menjadikan
baik.
`Potret haji
kekinian mulai mengalami siklus vertikal secara bertahap. Hal ini memberikan
poin sentral bahwa status sosial masyarakat Islam sedang membaik. Berbanding
terbalik dengan keadaan masyarakat era 70-an dan 80-an bahkan sebelumnya yang
harus mengikuti perjalanan haji selama berbulan-bulan di tengah lautan lepas,
itupun masih belum ada jaminan akan subtansi keselamatan bagi para jamaah.
Bisa dibilang
sungguh lamanya tour asli religi itu. Dalam catatan sejarah perbukuan, seorang
penulis era 1950an bernama Hamka yang pada akhir kepulangannya dari tanah suci,
aktif di organisasi Muhammadiyah dan menjadi direktur majalah terkenal memiliki
kisah mengagumkan. Tiga buku fenomenal dengan judul Mandi Cahaya di Tanah
Suci, di Tepi Sungai Dajlah, dan Mengembara di Sungai Nil
berhasil ditulisnya dalam perjalanan suci tersebut. Hal ini menandakan betapa lamanya
perjalanan yang ditempuh, dan betapa sulitnya perjuangan yang dilaluinya.
Terlepas dari
pelayaran yang demikian jauh, para jamaah masih diberatkan dengan isak tangis keluarga
dan kerabat. Tentunya dengan rona gelisah dan kekhawatiran yang bisa dibilang
berlebihan jika dipadukan dengan masa kini. Semua itu terkait akan keselamatan
mereka para jamaah di tengah lautan lepas yang sering kali mengundang maut, dan
tidak sedikit dari mereka yang akan pulang kembali dengan keadaan tubuh yang
terbujur kaku.
Adapun hari ini, transportasi
sudah begitu mumpuni. Usaha-usaha kreatif tengah dikembangkan. Mulai banyak
program-program pemerintah dan bantuan dana sosial dari berbagai instansi guna
pemberangkatan umroh bahkan haji gratis. Administrasi finansialnya dari tahun
ke tahun sudah tidak lagi membengkak dan dapat dikatakan terjangkau secara
ekonomis. Kendala yang mungkin menjadi sorotan hanyalah jumlah kursi perorangan
yang dapat diberangkatkan tiap tahunnya. Hal itu pun terjadi karena
membludaknya pengajuan diri dan mengakibatkan jatah kursi menjadi berdesakan.
Hal ini mengindikasikan bahwa begitu simpatinya umat islam kini akan haji meski
entah ada tabir hitam putih apa di balik fenomena tersebut. Sehingga penantian
dalam jangka waktu yang demikian lama rela mereka pertaruhkan demi menunaikan
rukun Islam yang kelima itu.
Kesejahteraan
masyarakat yang demikian lantas bertransformasi menjadi motivasi tersendiri
untuk sama-sama berkompetisi dan seakan-akan dipandang sebagai ajang bergengsi.
Walaupun tidak secara esensial menuju pada gerbang kemaslahatan. Anggap saja
hal itu diperuntukkan untuk sekedar menyandang gelar kehormatan, ataupun raupan
identitas kewibawaan. Meski pada kenyataannya masih ada pula yang menganggapnya
sebagai tajuk rencana penyempurnaan pilar-pilar agama, entah seperti apa
kuantitas mereka, hal itu masih harus dipertaruhkan secara intensif. Lantas
muncul tanda tanya besar di kalangan masyarakat Islam tentang dimanakah yang
lantas menjadi pilihan atau tujuan mereka, terlebih pada ritual sakral yang
sering kali disebut manasik ini.
Sematan kata haji
pada sebuah nama, nyatanya bukan malah menjadikan para “pak haji” dan “bu haji”
menjadi lebih bijak bersikap pada nilai positif gelar hajinya. Karena pada
dasarnya, kebanyakan dari mereka berangkat haji berasal mula dari sebuah
tenggang rasa akan riuh suasana terhadap orang-orang disekitarnya, dan
sepertinya hal itu terlepas dari kehidupan kota
yang dilengkapi hingar bingarnya ataupun kehidupan desa yang disertai
kesahajaannya. Semua jelas berdampak sama. Bukti fisik yang seperti itu
mengarah pada pagelaran-pagelaran yang ditampilkan menjelang keberangkatan atau
ketika berpulang. Itu pun masih jauh dari norma-norma keislaman, meski tampak
normatif dalam pandangan masyarakat awam.
Dampak Sebuah Identitas
Kini identitas
yang tengah diperbincangkan dan dijadikan bahan persoalan. Entah sejak kapan
dimulainya, namun sorotan publik akan sebuah identitas sungguh begitu
menggiurkan, terlebih mengandung impact social yang
berkepanjangan. Mencari jubah kewibawaan? Akankah didapatkan? Bukankah malah
berujung pada pekatnya kecongkakan? Begitu pula ketika hingar bingar di
tikungan jalan sudah mencekam. Lantas adakah nilai sejati dari sebuah ritual
suci yang telah mengorbankan unsur badaniyah dan maliyahnya? Sehingga pada
dasarnya, masyarakat Islam kini tengah dilanda krisis hakikat kehidupan begitu
pula ibadah yang mencapai stadium akhir.
Dampak identitas akan penamaan kata
haji memang sudah basi terdengar. Namun sampai saat ini saja, tidak banyak ada
perubahan atau adanya malah “menjadikan baik”. Dari buruk dijadikan baik, begitulah.
Mengaku akan adanya sebuah legalitas sehingga bebas berkeliaran dari jeratan
dan pondasi-pondasi hukum natural Islam. Sudah merasa menjadi orang paling
mulya, tahu akan semua permasalahan, dan tidak mengenal bahkan membuat sendiri
pada yang namanya aturan.
Begitulah tindak-tanduk sebuah
legalitas yang bermula dari identitas pasca terlahirnya seseorang ke dunia
barunya. Realita ini tentunya sudah membumi di Indonesia dan entah kapan
akhirnya. Lebih parahnya lagi, mereka yang sadar malah turut bungkam, seakan
segan padahal mereka tahu bahwa itu adalah suatu kesalahan. Betapa kuatnya
sebuah identitas saat ini, benar disalahkan dan salah dibenarkan, hanya
karenanya. Ironis sungguh, bila seorang haji malah enggan sholat jum’at,
menghadiri pagelaran-pagelaran sensasional, atau malah turut serta dalam
pementasan adu ayam jantan. Ketika sebagian orang bertanya, “Siapa dia?” yang
lain menjawab, “dia haji bla bla bla”. Ketika ditanya pula, “mana ada pagelaran
itu?” jawabannya tidak lain dan tidak bukan, “itu di rumah pak haji bla bla
bla”. Apakah ini hanya sebuah rekayasa? Ya, rekayasa kehidupan yang
dipertontonkan dan dimainkan oleh aktor-aktor tak beradab. Ending yang pilu
atau atau malah mengharu biru, kita hanya bisa menyaksikannya dan mempersiapkan
diri semata. Islam adalah agama yang rasional, relevan, dan pastinya
berprinsip. Sehingga nihil dikatakan bilamana Islam akan melegalkan
pondasi-pondasi hukumnya hanya karena sebuah status sosial yang
diagung-agungkan.
Sehingga
esensial dan tujuan dari ritual haji yang diprogramkan dan telah menjadi
rutinitas umat Islam malah tidak terwujudkan, jika hanya sebuah identitas yang
menjadi bahan incaran. Dikarenakan konsep haji yang sebenarnya, lebih menitik
beratkan pada rasa percaya diri dan kerelaan yang berarti bahwasanya diri ini
telah memenuhi panggilan sang ilahi.
Para jamaah tentunya tidak mudah dalam mengikuti setiap aktifitas manasik haji.
Dimana para jamaah harus wukuf di Arafah dengan cuaca yang mestinya tidak
bersahabat. Sudah biasa hidup di wilayah beriklim tropis, malah dituntut dengan
kinerja forsiran di tempat beriklim gurun. Begitu pula di saat tawaf, para
jamaah harus berusaha berdesak-desakan dengan jamaah lainnya untuk sekedar
mengelilingi Ka’bah, melambaikan tangan ke arah Ka’bah, dan sesekali pula
mencium Hajar Aswad. Nyawa bahkan bisa menjadi taruhannya. Jadi sangat
disayangkan, bila manasik haji yang demikian rumit dan penuh resiko hanya
diposisikan pada sebuah tujuan identitas,
terlebih lagi legalitas yang sama sekali tidak sinkron dengan indikasi
syariah-syariah terdahulu.
Pada poin inilah terkadang orang
banyak menyepelekan konsep sebenarnya dari haji mabrur, sehingga perlu adanya
penyeimbang faham diantara pemahaman yang tengah berkembang saat ini.
Disebutkan ;
الحج المبرور ليس له
جزاء الا الجنة (متفق عليه)
“Tiada lagi balasan
teruntuk haji mabrur kecuali surga”
Berbicara panduan hakiki orang berangkat haji, berlandaskan hadits
di atas, finishing dari ibadah haji adalah balasan surga. Tentunya semua
orang di dunia ini tanpa terkecuali ingin memiliki ending yang baik. Bisa saja
kita sebagai umat Islam mengatakannya dengan istilah surga. Urusan masuk surga
tergantung kehendak Allah azza wa jalla nantinya. Sulitnya, mabrurkah kita?
Mabrurkah haji umat Islam jika alasan utama dalam berhaji adalah reputasi
sosial atau identitas maha agung? Haji yang mabrur merupakan ibadah yang
mempertemukan antara hati, gerak dan ucapan, ditambah lagi maliyah yang sudah
dikeluarkan dengan nominal yang tidak sedikit. Sekaligus tidak ada sangkut
pautnya dengan perbuatan-perbuatan dosa dan kesemua ritualnya tertuju pada
Allah semata. Kendalanya ada di poin kedua, dimana para jamaah dituntut untuk menata
hati. Poin pertama hanyalah sekedar pembahasan formalitas yang sudah nyata
wujudnya. Adapun masalah hati, analogi siapapun sulit menerkanya secara pasti.
ما
سمي الانسان الا لنسيانه وما سمي القلب الا لتقلبه
"manusia tidak dikatakan insan kecuali karena sifat pelupanya,
begitupula hati tidak dikatakan qalb kecuali karena ketidak konsistenannya".
Lantas, jika
munculnya identitas itu dapat disinyalir ke dalam lingkaran syariah, maka sah-sah
saja. Bahkan niatan yang demikian jelas akan bernilai ibadah terlebih lagi
ensensinya merujuk pada pentingnya jihad fii sabilillah. Bukan lagi pedang dan
meriam yang berbicara, melainkan subjektifitas seseorang dalam meniti karir dan
kewibawaan yang lantas dijadikan sebuah alternatif menjunjung kehormatan Islam.
Misalnya, legalitas haji dijadikan sebagai medan dakwah atau pengabdian dalam
menata kinerja masyarakat Islam. Disinilah hikmah haji dapat kita soroti,
kewibawaan lantas turut mengalir mengikuti hari-hari sang “pak haji” dengan
dentuman kebaikan-kebaikannya. Jelasnya hal ini beda dengan pemaparan
sebelumnya yang berkenaan dengan oknum haji pelanggar syariat. Karena mereka
hanyalah sampah yang melahirkan wabah dan keresahan bagi masyarakat. Dakwah
adalah perkara wajib. Jika haji dapat melegalkan keberlangsungannya, maka haji
adalah wasilah yang tentunya akan bernilai tinggi dalam pelaksanaannya.
Dari hal itu, reputasi berhikmah ini layak mendapat apresiasi ataupun dukungan
serupa.
Banyak hal yang
umat Islam korbankan dalam pelaksanaan haji. Mulai dari materi, waktu, fisik,
emosional, dan lain sebagainya yang tentunya tidak mudah dianggap sebagai
perkara kecil. Haji memang adalah sebuah rutinitas tahunan, namun sebenarnya
tidak bisa disamaratakan dengan tidur ataupun makan yang merupakan rutinitas
harian. Karena rutinitas berhaji subtansinya merupakan sebuah ibadah yang
sering kali dihapus unsur ibadahnya, dan titik balik kepulangannya tetap berada
pada koridor pembatasan yang seharusnya umat Islam temukan disaat beribadah
haji itu sendiri.! لبيك اللهم لبيك
terima kasih masukannya....
BalasHapuskalo bisa share dengan saya di alamat email ini mas, newfatwa@gmail.com
BalasHapus