Rabu, 16 November 2016

MAKALAH ILMU KALAM-PAHAM SALAF

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dimensi agama tentunya melibatkan beberapa sektor kejiwaan manusia sebagai objek pendalamannya. Di sinilah mulai terkuak secara normatif tentang pandangan yang salah ataupun benar. Meski terkadang ada bentrok adu pemikiran yang dituangkan dalam lembaran-lembaran kajian kitab klasik, dan nyatanya masih dijadikan pertentangan hingga kini. Namun, secara substansial, metode pengkajian dasar agama sejatinya tidak melupakan unsur akal dan hati. Akal sebagai media untuk menjadikan suatu paham tersebut dapat diterima. Sedangkan hati bertujuan meyakini akan kebenaran paham yang telah diakui rasionalismenya oleh akal. Maka dari itu konsep agama sejati bagaimana menjadikan hati dan akal dapat memahami secara benar tentang paham yang dianggap benar pula.
            Dari itulah kita mengenal tentang sebuah paham yang muncul pada abad modern. Paham yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembaharu teologi Islam dan mengupayakan kembalinya Islam sebagaimana masa klasik dahulu. Kita menyebutnya sebagai paham salaf yang menitik beratkan tokohnya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab. Meski pada kenyataannya, ketiga tokoh ini tidak selayaknya disatukan menjadi satu rumpun mazhab, dikarenakan keberadaan mereka sebagai paham salaf masih memerlukan pertimbangan lebih mendalam.
            Mengingat doktrin salaf yang tumbuh berkembang hingga kini, meski belum terjamin kesalafannya, dianggap perlu adanya sebuah kajian khusus tentang paham, ajaran, dan segala seluk beluk yang meruang lingkupinya. Dari hal itulah, kami membuat makalah ini dengan judul “”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang dari paham Salaf?
2.      Siapa tokoh-tokoh paham Salaf?
3.      Bagaimana paham tokoh-tokoh Salaf?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui latar belakang paham salaf
2.      Mengetahui tokoh-tokoh paham salaf
3.      Mengetahui ajarantokoh-tokohpaham salaf
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang paham Salaf
            Banyak definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf. Berikut akan dikemukakan beberapa di antaranya. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabiin, tabi’ at-tabiin, para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan sebagainya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1] Menurut Asy-Syarastani (474-548 H), ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabbihat) dan tidak mempunyai paham tasbih (antropomorfisme)[2]. Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabiin, dan tabi’ tabiin yang dapat diketahui sikapnya menolak penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[3] Mereka tidak mau berbicara banyak tentang takwil ayat-ayat Al-Quran.
Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur, karakteristik-karakteristik ulama salaf atau salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut :[4]
1.      Lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.      Dalam persoalan pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan persoalan cabang-cabang agama (furu’ ad-din), hanya berpangkupada penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3.      Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) tidak pula mempunyai paham antropomorfisme.
4.      Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna dhahirnya, tidak berupaya untuk menakwilkannya.

            Melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut dapat dikategorikan sebagai ulama salaf. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H) Umar bin Abd l-‘Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’far Ash-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hambal). Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis, salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hambal. Lalu ajarannya dikembangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, disuburkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[5] Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama salaf, tapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
            Namun menurut M. Imamuddin M.S dkk, pendapat Harun Nasution ini dapat dikatakan keliru. Ahmad bin Hanbal adalah seorang ulama salaf yang perilakunya bertolak jauh dengan golongan salafiyah era modern. Beliau sebagaimana ulama’ salaf lainnya tidak gegabah dalam menyesatkan apalagi mengafirkan pihak yang berbeda paham. Beliau tidak serta merta pula menentang pendapat orang yang berlainan paham tersebut. Berbeda dengan paham ajaran salaf abad modern yang mudah sekali menjatuhkan vonis kafir kepada golongan lain, dan hanya mau menerima pendapat dari golongan mereka sendiri. Paham salaf yang demikian sejatinya menyamai paham khawarij yang berkembang di masa klasik.
            Namun benar jika dikatakan bahwa pelopor gerakan salaf modern ini berasal dari pengikut-pengikut Ahmad bin Hanbal. Abu Zahrah, dalam Tarikh al-Madzhahib al-Islamiyah menjelaskan, gerakan ini muncul sekitar sekitar abad ke-4 H. Mereka berasal dari pengikut Ahmad bin Hanbal. Golongan ini selalu mengklaim pendapat-pendapat mereka berasal dari Imam Ahmad ibn Hanbal.
            Gerakan ini mengawali langkahnya dengan mendiskusikan ayat-ayat mutasyabbihat dan menolak penakwilan terhadap ayat-ayat tersebut. Golongan ini juga menyatakan tauhid adalah asas Islam yang selalu harus dijaga dan dipelihara kekokohan dan kemurniannya. Mereka menyatakan ritual-ritual seperti ziarah kubur dan tawassul kepada Nabi saw, orang-orang shaleh, dan aulia’ adalah perbuatan syirik.[6]
            Timbulnya kelompok ini pada waktu itu sangat meresahkan masyarakat. Mereka mendapat tentangan dari mayoritas kaum muslimin waktu itu. Penentangan besar juga datang dari para pembesar Hanabilah, salah satunya adalah Ibn Al-Jauzi. Dia menyatakan dengan tegas bahwa pengakuan terhadap pendapat mereka berasal dari Imam Ahmad adalah kedustaan belaka. Justru paham mereka lebih mendekati pada kaum Mujassimah.Akhirnya gerakan ini hilang dengan sendirinya.
            Tapi sekitar abad ke ke-7 H gerakan ini muncul kembali yang kali ini dipelopori oleh Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkampanye kepada kaum muslimin supayamengikuti manhaj salah versinya. Dia menyerang kaum Asy’ariyah dan Maturidhiyah yang menurutnya telah tersesat karena mencampur adukkan akal dalam persoalan ilmu kalam. Dia mempersoalkan kembali penakwilan ayat-ayat mutasyabbihat yang menurutnya telah keluar dari garis akidah para salaf. Akibat sering memberikan fatwa kontroversial, Ibnu Taimiyah akhirnya dipenjara sampai akhir wafatnya. Pasca Ibnu Taimiyah, gerakan ini meredup lagi sampai beberapa abad.
            Pada abad ke 12 H, gerakan salafiyah menguat lagi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ajaran yang dijalankannya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Seperti halnya Ibnu Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab tak henti-henti menyuarakan kepada semua orang untuk mengikuti pemahaman salaf versinya. Seperti Ibnu Taimiyah pula, Muhammad bin Abdul Wahab memaknai ittiba’salaf sebagai mengembalikan cara berfikir umat Islam sebagaimana masa salaf dahulu. Ajaran yang akhirnya dikenal dengan wahabisme ini terus mengakar kuat hingga saat ini. [7]

B.     Tokoh-Tokoh Paham Salaf
1.      Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
            Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama imam Hambali karena menjadi pendiri mazhab Hambali. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar. Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih berusia muda. Meskipun demikian, ayahnya telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Quran. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Kufah, Basrah, Yaman, Makkah, Syam dan Madinah. Di antara gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah, muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf AL-Qodi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ie, Abd Razaq bin Humam, dan Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hambal mempelajari ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, usul dan bahasa Arab.
            Sebagai seorang yang teguh pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan mazhab Muktazilah, Ibnu Hambal menjadi korban Minah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa Al-Quran adalah makhluk, sehingga ia harus masuk penjara. Nasib serupa dialaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun, yaitu Al-Muktasim dan Al-Watsiq. Setelah Al-Mutawakkil naik tahta, Ibnu Hanbal memperoleh kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Di antara murid-murid Ibnu Hanbal adalah Ibnu Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibnu Abi Ad-Dunya, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebut terakhir adalah putranya.

2.      Ibnu Taimiyah (661-729 H)
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqo’dah tahun 729 H. Kewafatannya telah meggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam dan Mesir, serta kaum mulimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam ibnu Abdillah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya.[8]
Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibnu Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf ekstrem karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia seorangmuttaqi, wara’ dan zuhud. Ia seorang panglima dan penentang bangsa Tartar yang berani mengangkat senjata. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits, mufassir, faqih, teolog, bahkan banyak mengetahui tentang ilmu filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan ibnu Arabi. Kritikannya juga ditujukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan kemarahan para ulama pada zamannya. Berulang kali Ibnu Taimiyah masuk penjara hanya karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.
Ibnu Taimiyah terkenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17 tahun telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara resmi. Para ulama lawan ibnu Taimiyah yang sangat risau oleh serangan-serangannya, serta iri hati terhadap kedudukannya di istana Gubernur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai klenik, antropomorsifme, sehingga pada awal 1306 M Ibnu Taimiyah dipanggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia dipenjara hingga wafatnya.

3.      Muhammad bin Abdul Wahhab
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di era modern, tepatnya 1115 H di Uyainah. Dia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya seorang qodhi (mufti besar). Sebagimana lazimnya keluarga ulama’, Muhammad bin Abdul Wahhab sejak kanak-kanak hingga dewasa telah digembleng dengan pendidikan agama baik yang diajarkan oleh ayahnya sendiri atau guru-gurunya.
Saat dewasa, Muhammad bin Abdul Wahab menimba ilmu di Madinah. Ia berguru kepada dua ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrohim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi. Ketika di Madinah, ia melihat banyak umat Islam yang tidak menjalankan syariat serta berbuat syirik. Hal itu membuat Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ketauhidannya guna mengembalikan aqidah umat pada aqidah yang murni dan jauh dari khurafat, tahayul dan bid’ah.
Dalam proses dakwahnya, Muhammad bin Abdul Wahab memperoleh banyak tentangan, bahkan dari keluarganya sendiri. Mengetahui ajarannya sulit diterima di Uyainah, Muhammad bin Abdul Wahab mengadakan kerjasama dengan pemimpin wilayah dar’iyah Muhammad bin Saud. Dalam kerjasama tersebut, Ibnu Abdul Wahab diuntungkan dengan kekuatan masa yang dimiliki Ibnu Saud. Sedangkan Ibnu Saud diuntungkan dengan adanya dalih pemurnian akidah, ia mempunyai celah untuk menguasai Hijaz dari tangan Turki usmani.
C.    Ajaran Tokoh-Tokoh Paham Salaf
a.       Pemikiran Teologi Ibn Hanbal
1)      Ayat-Ayat Mutasyabbihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibnu Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan takwil, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabbihat. Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat :
الرحمن على العرش استوى (طه : 5)
Artinya : “ Yang maha pengasih yang bersemayam di atas arsy”.
Dalam hal ini Ibnu Hanbal menjawab :
استوى على العرش كيف شاء وكما شاء بلا حدّ ولا صفة يبلّغه واصف
Artinya : “Istiwa’ di atas arsy terserah Dia dan bagaimana dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya”.
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (Tuhan turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadis tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal menjawab :
نؤمن بها ونصدّقها ولا كيف ولا معنى
Artinya : “kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan dan maknanya”.
Dari pernyataan di atas, Ibnu Hanbal tampaknya bersikap menyerah (tafwidh) makna-makna ayat dan hadis mutasyabbihat kepada Allah dan rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian dhahirnya.
2)      Status Al-Quran
Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibnu Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluq) karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim, paham yang diakui oleh pemerintah resmi pada saat itu, yaitu Dinasti Abbasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq adalah paham Muktazilah, yaitu Quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping Tuhan bagi Muktazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni oleh Tuhan.
Tampaknya, Ibnu Hambal tidak sependapat dengan paham resmi di atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus Minah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrohim, guberbur Irak :[9]
Ishaq : apa pendapatmu tentang Al-Quran?
Ibnu Hambal : Sabda tuhan.
Ishaq : Apakah ia diciptakan ?
Ibnu Hambal : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : apa arti ayat : Maha Mendengar (sami’), dan maha melihat (Bashar)
Ibnu Hambal : Tuhan Menyifatkan diri-Nya dengan kata-kata itu.
Ishaq : Apa artinya ?
Ibnu Hambal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan pada diri-Nya.
Berdasarkan dialog di atas, Ibnu Hanbal tidak ingin membahas lebih lanjut tentang status Al-Quran. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Quran tak diciptakan. Ini sejalan dengan pola pikirnya yang meyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan Rasul-Nya. 

2.      Pemikiran Teologi ibnu Taimiyah
Pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah, seperti dikatakan Ibrohim Madzkur adalah sebagai berikut :
a.       Berpegang teguh pada nash (teks Al-Quran dan Al-hadis)
b.      Tidak memberikan ruang gerak yang bebas terhadap akal
c.       Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d.      Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, tabi’ at-tabiin)
e.       Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzih-Nya
Ibnu Taimiyah adalah seorang tekstualis. Oleh karena itu pandangannya dianggap oleh ulama madzhab Hambali, Al-Khatib Ibnu Al-Jauzi sebagai padangan tajsim (antropomorsifme) Allah, yaitu meyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibnu Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[10]
a.       Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah :
1)      Sifat salbiyah yaitu qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu bi nafsihi, dan wahdaniyah;
2)      Sifat ma’ani yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu, dan kalam;
3)      sifat khabariyah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan hadits meskipun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah di langit; Allah di atas arsy; Allah turun ke langit dunia ; Allah dilihat oleh orang beriman di surga kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
4)      Sifat dhafiah meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada alam makhluk, seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa an-nawa.
b.      Percaya sepenuhnya terhadap nama-namanya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti ­al-awwal, al-akhir, al-bathin, al-dhahir, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum, as-sami’, dan al-bashir.
c.       Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan ;
1)      Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz Tidak menghilangkan pengertian lafaz
2)      Tidak mengingkarinya
3)      Tidak menggambarkan bentuk-bentuk Tuhan, baik dalam pikiran, hati maupun dengan indra
4)      Tidak meyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluq-Nya. Hal ini disebabkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ibnu Taimiyah tidak menyutujui setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabbihat. Menurutnya, ayat-ayat atau hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu; hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya, Allah meridai perbuatan baik dan tidak meridai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah mencapai klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan-nya yang mutlak. Oleh karena itu, masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi. Demikian juga, keinginan manusia untuk menyatu dengan Tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Quran berisi dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuasan hati); aliran Muktazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional daripada dalil Al-Quran, sehingga banyak menggunakan takwil; ulama yang mempercayai dalil-dalil Al-Quran, tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal penyelidikan akal, meskipun untuk memperkuat isi Al-Quran seperti Al-Mathuridi; mereka yang memercayai dalil-dalil Al-Quran, tapi mempergunakan pula dalil-dalil akal di samping Al-Quran (seperti Al-Asy’ari).
3.      Pemikiran Teologi Muhammad bin Abdul Wahab
            Ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Muhammad bin Abdul Wahab memang dikenal sebagai pengagum berat Ibnu Taimiyah dan Ibnu QoyyimAl-Jauziyah. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim bisa dikatakan tokoh paling penting bagi Ibnu AbdilWahab dan pengikut-pengikutnya hingga kini. Bahkan kitab-kitab kedua ulama itu bagi Wahabi hingga kini merupakan kitab yang sangat agung.
            Ibnu AbdWahhab banyak mengkaji karangan-karangan Ibn Taimiyah. Bahkan, ia sampai hafal sebagian karya Ibnu Taimiyah hingga ia mampu menuliskan dengan tangannya secara cermat pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, ia bahkan mampu merealisasikan ide-ide Ibnu Taimiyah dalam suatu gerakan politik. Pendek kata, secara keseluruhan pemikiran dan ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdul Waahhab hanyalah dop-paste dari pemikiran dan ajaran Ibnu Taimiyah. Sebagai pembeda, hanyalah Muhammad bin Abdul Wahab dalam menjalankan ajarannya dipadukan dengan kepentingan politik.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Paham salaf adalah suatu paham yang berusaha mereview pemahaman umat untuk kembali seperti dahulu pada masa sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin. Penggagas paham salaf bermula dari Ahmad bin Hanbal, dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah di era selanjutnya, baru disebar luaskan secara merata oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan menggunakan sistem perserikatan dengan tokoh politik, Muhammad bin Saud. Meski dalam setiap periode dari ketiga tokoh paham salaf tersebut selalu saja mendapat pertentangan dan sering kali keluar masuk penjara.
Kesemua tokoh paham salaf di atas, meski ketiga-tiganya terdoktrin sebagai salaf, tidak serta merta dapat dikumpulkan dalam satu rumpun salaf hanya karena aspek penamaan semata. Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa semua pendapatnya bersumber dari Ahmad bin Hanbal ternyata ditentang oleh murid Ibnu Hanbal sendiri, IbnuAl-Jauzi. Doktrin pemikiran Ibnu Taimiyah dianggap sebuah kebohongan jika dikatakan bersumber dari ajaran Ahmad bin Hanbal. Muhammad bin Abdul Wahab pun demikian. Hanya karena untuk melancarkan paham ajarannya, rela memadukan kesucian akidah dengan terma politik. Sehingga pemahaman salaf sebenarnya jika diistilahkan dalam sejarah juga mengalami distorsi dari periode ke periode.
Esensi ajaran paham salaf sebenarnya adalah menitik beratkan pemahaman Al-Quran secara tekstual terlebih pada ayat-ayat mtasyabbihat. Tidak diperbolehkan dalam ajaran paham salaf untuk mentakwilAl-Quran. Dengan artian semua hal-hal yang menyangkut perkara ghaibah (samar/asing) tidak boleh dicampurkan adukkan dengan akal dalam pemahamannya. Sehingga paham salaf yang sebenarnya jika ditinjau dari segi tujuan pengadaannya adalah hal yang baik. Hal tersebut dikarenakan berupa upaya pengembalian nilai ajar ke masa klasik dahulu, di mana semua orang dapat hidup tenteram tanpa ada pertentangan.



DAFTAR PUSTAKA
Ø  Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama tentang Ayat-Ayat Mutasyabbihat. Bandung : Sinar baru.
Ø  Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Ø  Thaha, Ahmad. 1982. Ibnu Taimiyah : Hidup dan Pemikirannya. Surabaya : Bina Ilmu.
Ø  S, M. Imamuddin M. 2008. Aliran-Aliran Teologi Islam. Kediri : Purna Siswa Aliyah 2008.
Ø  Ace, Abubakar. 1986. Salaf : Islam dalam Masa Murni. Solo : Ramadhani.



[1] Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuf di Turats Ibn Taimiyah, Al-Hai’al Hadis Al-Mishriyah Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, 1984, hlm. 11-38
[2]Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Fikr, Beirut, t.th., hlm.92-93
[3] Abubakar Ace, Salaf : Islam dalam Masa Murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm.25
[4] Ibrahim Madzkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah : Manhaj wa Tathbiquh, jilid II, Dar Al-Maarif, Mesir, 1947, hlm.30
[5] Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid V, jet. I. Ichtiar baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm. 160
[6] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib al-islamiyah, al-Haromain, Singapura-Jeddah, t.th, hal.167-169
[7] M. Imamuddin M.S. dkk, Aliran-Aliran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah 2008, Kediri, 2008, hal.292-293
[8] Ahmadi Thaha, Ibnu Taimiyah : Hidup dan Pemikirannya, bina Ilmu, Surabaya 1982, hal 36
[9] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 62-63.
[10] Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-Ayat Mutasyabbihat, Sinar Baru, Bandung : 1993, hal 58-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar