BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dimensi
agama tentunya melibatkan beberapa sektor kejiwaan manusia sebagai objek
pendalamannya. Di sinilah mulai terkuak secara normatif tentang pandangan yang
salah ataupun benar. Meski terkadang ada bentrok adu pemikiran yang dituangkan
dalam lembaran-lembaran kajian kitab klasik, dan nyatanya masih dijadikan
pertentangan hingga kini. Namun, secara substansial, metode pengkajian dasar
agama sejatinya tidak melupakan unsur akal dan hati. Akal sebagai media untuk menjadikan
suatu paham tersebut dapat diterima. Sedangkan hati bertujuan meyakini akan
kebenaran paham yang telah diakui rasionalismenya oleh akal. Maka dari itu
konsep agama sejati bagaimana menjadikan hati dan akal dapat memahami secara
benar tentang paham yang dianggap benar pula.
Dari itulah kita mengenal tentang
sebuah paham yang muncul pada abad modern. Paham yang mengatasnamakan dirinya
sebagai pembaharu teologi Islam dan mengupayakan kembalinya Islam sebagaimana
masa klasik dahulu. Kita menyebutnya sebagai paham salaf yang menitik beratkan
tokohnya kepada Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul
Wahab. Meski pada kenyataannya, ketiga tokoh ini tidak selayaknya disatukan
menjadi satu rumpun mazhab, dikarenakan keberadaan mereka sebagai paham salaf
masih memerlukan pertimbangan lebih mendalam.
Mengingat doktrin salaf yang tumbuh
berkembang hingga kini, meski belum terjamin kesalafannya, dianggap perlu
adanya sebuah kajian khusus tentang paham, ajaran, dan segala seluk beluk yang
meruang lingkupinya. Dari hal itulah, kami membuat makalah ini dengan judul “”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa latar
belakang dari paham Salaf?
2.
Siapa
tokoh-tokoh paham Salaf?
3.
Bagaimana
paham tokoh-tokoh Salaf?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
latar belakang paham salaf
2.
Mengetahui
tokoh-tokoh paham salaf
3.
Mengetahui
ajarantokoh-tokohpaham salaf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang paham Salaf
Banyak definisi
yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf. Berikut akan
dikemukakan beberapa di antaranya. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya
ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat,
tabiin, tabi’ at-tabiin, para pemuka abad ke-3 H, dan para pengikutnya pada
abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan sebagainya. Salaf berarti pula
ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.[1]
Menurut Asy-Syarastani (474-548 H), ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabbihat) dan tidak mempunyai paham tasbih (antropomorfisme)[2].
Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah mendefinisikan salaf
sebagai sahabat, tabiin, dan tabi’ tabiin yang dapat diketahui sikapnya menolak
penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.[3]
Mereka tidak mau berbicara banyak tentang takwil ayat-ayat Al-Quran.
Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur, karakteristik-karakteristik
ulama salaf atau salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut :[4]
1.
Lebih
mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2.
Dalam
persoalan pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan persoalan cabang-cabang
agama (furu’ ad-din), hanya berpangkupada penjelasan-penjelasan Al-Kitab
dan As-Sunnah.
3.
Mengimani
Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) tidak pula mempunyai
paham antropomorfisme.
4.
Memahami
ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna dhahirnya, tidak berupaya untuk
menakwilkannya.
Melihat karakteristik yang
dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas, tokoh-tokoh berikut dapat dikategorikan
sebagai ulama salaf. Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah Abdullah bin Abbas (68
H), Abdullah bin Umar (74 H) Umar bin Abd l-‘Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H),
Ja’far Ash-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan imam Ahmad bin Hambal). Harun Nasution menganggap bahwa
secara kronologis, salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hambal. Lalu ajarannya
dikembangkan oleh Imam Ibnu Taimiyah, disuburkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab,
dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporadis.[5]
Gerakan-gerakan lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama salaf,
tapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah
logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan mereka sebagai ulama salaf,
mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi
(ketuhanan).
Namun menurut M. Imamuddin M.S dkk,
pendapat Harun Nasution ini dapat dikatakan keliru. Ahmad bin Hanbal adalah
seorang ulama salaf yang perilakunya bertolak jauh dengan golongan salafiyah
era modern. Beliau sebagaimana ulama’ salaf lainnya tidak gegabah dalam
menyesatkan apalagi mengafirkan pihak yang berbeda paham. Beliau tidak serta
merta pula menentang pendapat orang yang berlainan paham tersebut. Berbeda
dengan paham ajaran salaf abad modern yang mudah sekali menjatuhkan vonis kafir
kepada golongan lain, dan hanya mau menerima pendapat dari golongan mereka
sendiri. Paham salaf yang demikian sejatinya menyamai paham khawarij yang
berkembang di masa klasik.
Namun benar jika
dikatakan bahwa pelopor gerakan salaf modern ini berasal dari pengikut-pengikut
Ahmad bin Hanbal. Abu Zahrah, dalam Tarikh al-Madzhahib al-Islamiyah menjelaskan,
gerakan ini muncul sekitar sekitar abad ke-4 H. Mereka berasal dari pengikut
Ahmad bin Hanbal. Golongan ini selalu mengklaim pendapat-pendapat mereka
berasal dari Imam Ahmad ibn Hanbal.
Gerakan ini
mengawali langkahnya dengan mendiskusikan ayat-ayat mutasyabbihat dan
menolak penakwilan terhadap ayat-ayat tersebut. Golongan ini juga menyatakan
tauhid adalah asas Islam yang selalu harus dijaga dan dipelihara kekokohan dan
kemurniannya. Mereka menyatakan ritual-ritual seperti ziarah kubur dan tawassul
kepada Nabi saw, orang-orang shaleh, dan aulia’ adalah perbuatan
syirik.[6]
Timbulnya kelompok
ini pada waktu itu sangat meresahkan masyarakat. Mereka mendapat tentangan dari
mayoritas kaum muslimin waktu itu. Penentangan besar juga datang dari para
pembesar Hanabilah, salah satunya adalah Ibn Al-Jauzi. Dia menyatakan dengan
tegas bahwa pengakuan terhadap pendapat mereka berasal dari Imam Ahmad adalah
kedustaan belaka. Justru paham mereka lebih mendekati pada kaum
Mujassimah.Akhirnya gerakan ini hilang dengan sendirinya.
Tapi sekitar abad
ke ke-7 H gerakan ini muncul kembali yang kali ini dipelopori oleh Ibnu
Taimiyah. Ibnu Taimiyah berkampanye kepada kaum muslimin supayamengikuti manhaj
salah versinya. Dia menyerang kaum Asy’ariyah dan Maturidhiyah yang menurutnya
telah tersesat karena mencampur adukkan akal dalam persoalan ilmu kalam. Dia
mempersoalkan kembali penakwilan ayat-ayat mutasyabbihat yang menurutnya
telah keluar dari garis akidah para salaf. Akibat sering memberikan fatwa
kontroversial, Ibnu Taimiyah akhirnya dipenjara sampai akhir wafatnya. Pasca
Ibnu Taimiyah, gerakan ini meredup lagi sampai beberapa abad.
Pada abad ke 12 H,
gerakan salafiyah menguat lagi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ajaran yang dijalankannya sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah.
Seperti halnya Ibnu Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab tak henti-henti
menyuarakan kepada semua orang untuk mengikuti pemahaman salaf versinya. Seperti
Ibnu Taimiyah pula, Muhammad bin Abdul Wahab memaknai ittiba’salaf sebagai mengembalikan
cara berfikir umat Islam sebagaimana masa salaf dahulu. Ajaran yang akhirnya
dikenal dengan wahabisme ini terus mengakar kuat hingga saat ini. [7]
B.
Tokoh-Tokoh Paham Salaf
1.
Imam
Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad
tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241 H/855 M. Ia sering dipanggil Abu Abdillah
karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama
imam Hambali karena menjadi pendiri mazhab Hambali. Ibunya bernama Shahifah
binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur Asy-Syaibani,
bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asas bin
Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal
bin Akabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar. Ayahnya
meninggal ketika Ibn Hanbal masih berusia muda. Meskipun demikian, ayahnya
telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Quran. Pada usia 16 tahun, ia
belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu
mengunjungi ulama-ulama terkenal di Kufah, Basrah, Yaman, Makkah, Syam dan
Madinah. Di antara gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyyah,
muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf
AL-Qodi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’id, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’ie,
Abd Razaq bin Humam, dan Musa bin Thariq. Dari guru-gurunya Ibnu Hambal mempelajari
ilmu fiqh, hadits, tafsir, kalam, usul dan bahasa Arab.
Sebagai seorang yang teguh
pendirian, ketika khalifah Al-Makmun mengembangkan mazhab Muktazilah, Ibnu
Hambal menjadi korban Minah (inquistition) karena tidak mengakui bahwa
Al-Quran adalah makhluk, sehingga ia harus masuk penjara. Nasib serupa
dialaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun, yaitu Al-Muktasim
dan Al-Watsiq. Setelah Al-Mutawakkil naik tahta, Ibnu Hanbal memperoleh
kebebasan. Pada masa ini ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan.
Di antara
murid-murid Ibnu Hanbal adalah Ibnu Taimiyah, Hasan bin Musa, Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibnu Abi
Ad-Dunya, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan
Abdullah. Kedua orang yang disebut terakhir adalah putranya.
2.
Ibnu
Taimiyah (661-729 H)
Nama lengkap
Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan
di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di
penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqo’dah tahun 729 H. Kewafatannya telah
meggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam dan Mesir, serta kaum mulimin
pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam
ibnu Abdillah bin Taimiyah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya.[8]
Dikatakan oleh
Ibrahim Madzkur bahwa Ibnu Taimiyah merupakan seorang tokoh salaf ekstrem
karena kurang memberikan ruang gerak pada akal. Ia seorangmuttaqi, wara’ dan
zuhud. Ia seorang panglima dan penentang bangsa Tartar yang berani mengangkat
senjata. Ia dikenal sebagai seorang muhaddits, mufassir, faqih, teolog, bahkan
banyak mengetahui tentang ilmu filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan
Ali bin Abi Thalib. Ia juga menyerang Al-Ghazali dan ibnu Arabi. Kritikannya
juga ditujukan pula kepada kelompok-kelompok agama sehingga membangkitkan
kemarahan para ulama pada zamannya. Berulang kali Ibnu Taimiyah masuk penjara
hanya karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.
Ibnu
Taimiyah terkenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17 tahun telah dipercaya
masyarakat untuk memberikan pandangan-pandangan mengenai masalah hukum secara
resmi. Para ulama lawan ibnu Taimiyah yang sangat risau oleh
serangan-serangannya, serta iri hati terhadap kedudukannya di istana Gubernur
Damaskus, telah menjadikan pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah sebagai landasan
untuk menyerangnya. Dikatakan oleh lawan-lawannya bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah
sebagai klenik, antropomorsifme, sehingga pada awal 1306 M Ibnu Taimiyah
dipanggil ke Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia dipenjara
hingga wafatnya.
3.
Muhammad
bin Abdul Wahhab
Muhammad
bin Abdul Wahab lahir di era modern, tepatnya 1115 H di Uyainah. Dia tumbuh dan
dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh
agama di lingkungannya. Sedangkan kakak laki-lakinya seorang qodhi (mufti
besar). Sebagimana lazimnya keluarga ulama’, Muhammad bin Abdul Wahhab sejak
kanak-kanak hingga dewasa telah digembleng dengan pendidikan agama baik yang
diajarkan oleh ayahnya sendiri atau guru-gurunya.
Saat
dewasa, Muhammad bin Abdul Wahab menimba ilmu di Madinah. Ia berguru kepada dua
ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrohim bin Saif an-Najdi dan Syeikh
Muhammad Hayah al-Sindi. Ketika di Madinah, ia melihat banyak umat Islam yang
tidak menjalankan syariat serta berbuat syirik. Hal itu membuat Muhammad
semakin terdorong untuk memperdalam ketauhidannya guna mengembalikan aqidah
umat pada aqidah yang murni dan jauh dari khurafat, tahayul dan bid’ah.
Dalam
proses dakwahnya, Muhammad bin Abdul Wahab memperoleh banyak tentangan, bahkan
dari keluarganya sendiri. Mengetahui ajarannya sulit diterima di Uyainah,
Muhammad bin Abdul Wahab mengadakan kerjasama dengan pemimpin wilayah dar’iyah
Muhammad bin Saud. Dalam kerjasama tersebut, Ibnu Abdul Wahab diuntungkan
dengan kekuatan masa yang dimiliki Ibnu Saud. Sedangkan Ibnu Saud diuntungkan
dengan adanya dalih pemurnian akidah, ia mempunyai celah untuk menguasai Hijaz
dari tangan Turki usmani.
C.
Ajaran Tokoh-Tokoh Paham Salaf
a.
Pemikiran
Teologi Ibn Hanbal
1)
Ayat-Ayat
Mutasyabbihat
Dalam memahami ayat-ayat Al-Quran, Ibnu Hanbal lebih menyukai
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan takwil, terutama
yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabbihat. Hal itu
terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat :
الرحمن على العرش استوى (طه : 5)
Artinya : “ Yang maha pengasih yang bersemayam di atas arsy”.
Dalam hal ini Ibnu Hanbal menjawab :
استوى على العرش كيف شاء وكما شاء بلا حدّ ولا صفة يبلّغه واصف
Artinya : “Istiwa’ di atas arsy terserah Dia dan bagaimana dia
kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya”.
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (Tuhan
turun ke langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di
akhirat), dan hadis tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal menjawab :
نؤمن بها ونصدّقها ولا كيف ولا معنى
Artinya : “kita mengimani dan membenarkannya, tanpa mencari
penjelasan dan maknanya”.
Dari pernyataan di atas, Ibnu Hanbal tampaknya bersikap menyerah (tafwidh)
makna-makna ayat dan hadis mutasyabbihat kepada Allah dan rasul-Nya, dan
menyucikan-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan
pengertian dhahirnya.
2)
Status
Al-Quran
Salah satu
persoalan teologis yang dihadapi Ibnu Hanbal yang kemudian membuatnya dipenjara
beberapa kali adalah tentang status Al-Quran, apakah diciptakan (makhluq)
karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim, paham
yang diakui oleh pemerintah resmi pada saat itu, yaitu Dinasti Abbasiyah di
bawah kepemimpinan Khalifah Al-Makmun, Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq adalah paham
Muktazilah, yaitu Quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping Tuhan bagi Muktazilah
berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang
tidak diampuni oleh Tuhan.
Tampaknya, Ibnu
Hambal tidak sependapat dengan paham resmi di atas. Oleh karena itu, ia
kemudian diuji dalam kasus Minah oleh aparat pemerintah. Pandangannya
tentang status Al-Quran dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrohim,
guberbur Irak :[9]
Ishaq : apa
pendapatmu tentang Al-Quran?
Ibnu Hambal :
Sabda tuhan.
Ishaq : Apakah
ia diciptakan ?
Ibnu Hambal :
Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : apa
arti ayat : Maha Mendengar (sami’), dan maha melihat (Bashar)
Ibnu Hambal :
Tuhan Menyifatkan diri-Nya dengan kata-kata itu.
Ishaq : Apa
artinya ?
Ibnu Hambal :
Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan pada diri-Nya.
Berdasarkan
dialog di atas, Ibnu Hanbal tidak ingin membahas lebih lanjut tentang status
Al-Quran. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Quran tak diciptakan. Ini sejalan dengan
pola pikirnya yang meyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah
kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.
Pemikiran
Teologi ibnu Taimiyah
Pikiran-pikiran
Ibnu Taimiyah, seperti dikatakan Ibrohim Madzkur adalah sebagai berikut :
a.
Berpegang
teguh pada nash (teks Al-Quran dan Al-hadis)
b.
Tidak
memberikan ruang gerak yang bebas terhadap akal
c.
Berpendapat
bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d.
Di
dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, tabi’
at-tabiin)
e.
Allah
memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzih-Nya
Ibnu Taimiyah
adalah seorang tekstualis. Oleh karena itu pandangannya dianggap oleh ulama
madzhab Hambali, Al-Khatib Ibnu Al-Jauzi sebagai padangan tajsim (antropomorsifme)
Allah, yaitu meyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi
berpendapat bahwa pengakuan Ibnu Taimiyah sebagai salaf perlu ditinjau kembali.
Berikut
pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah :[10]
a.
Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah :
1)
Sifat
salbiyah yaitu qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu bi nafsihi,
dan wahdaniyah;
2)
Sifat
ma’ani yaitu qudrah, iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu, dan kalam;
3)
sifat
khabariyah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan hadits meskipun
akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti keterangan yang menyatakan bahwa
Allah di langit; Allah di atas arsy; Allah turun ke langit dunia ; Allah
dilihat oleh orang beriman di surga kelak; wajah, tangan dan mata Allah.
4)
Sifat
dhafiah meng-idhafat-kan atau menyandarkan nama-nama Allah pada
alam makhluk, seperti rabb al-alamin, khaliq al-kaun, dan falik
al-hubb wa an-nawa.
b.
Percaya
sepenuhnya terhadap nama-namanya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal,
al-akhir, al-bathin, al-dhahir, al-alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyum,
as-sami’, dan al-bashir.
c.
Menerima
sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan ;
1)
Tidak
mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz Tidak menghilangkan
pengertian lafaz
2)
Tidak
mengingkarinya
3)
Tidak
menggambarkan bentuk-bentuk Tuhan, baik dalam pikiran, hati maupun dengan indra
4)
Tidak
meyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluq-Nya.
Hal ini disebabkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menyamai-Nya, bahkan
yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ibnu Taimiyah tidak menyutujui
setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabbihat. Menurutnya, ayat-ayat atau
hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan
sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu.
Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan
ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu; hamba pelaku perbuatan
yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga
manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya, Allah meridai perbuatan baik
dan tidak meridai perbuatan buruk.
Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah mencapai
klimaksnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah
pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan Tuhan-nya yang
mutlak. Oleh karena itu, masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode
rasional, baik dengan metode filsafat maupun teologi. Demikian juga, keinginan
manusia untuk menyatu dengan Tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh karena
itu, Ibnu Taimiyah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Quran
berisi dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuasan hati);
aliran Muktazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional daripada dalil
Al-Quran, sehingga banyak menggunakan takwil; ulama yang mempercayai
dalil-dalil Al-Quran, tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal penyelidikan akal,
meskipun untuk memperkuat isi Al-Quran seperti Al-Mathuridi; mereka yang
memercayai dalil-dalil Al-Quran, tapi mempergunakan pula dalil-dalil akal di
samping Al-Quran (seperti Al-Asy’ari).
3.
Pemikiran
Teologi Muhammad bin Abdul Wahab
Ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad
bin Abdul Wahab sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Muhammad
bin Abdul Wahab memang dikenal sebagai pengagum berat Ibnu Taimiyah dan Ibnu
QoyyimAl-Jauziyah. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim bisa dikatakan tokoh paling
penting bagi Ibnu AbdilWahab dan pengikut-pengikutnya hingga kini. Bahkan
kitab-kitab kedua ulama itu bagi Wahabi hingga kini merupakan kitab yang sangat
agung.
Ibnu AbdWahhab banyak mengkaji
karangan-karangan Ibn Taimiyah. Bahkan, ia sampai hafal sebagian karya Ibnu
Taimiyah hingga ia mampu menuliskan dengan tangannya secara cermat
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, ia bahkan mampu
merealisasikan ide-ide Ibnu Taimiyah dalam suatu gerakan politik. Pendek kata,
secara keseluruhan pemikiran dan ajaran yang dibawa Muhammad bin Abdul Waahhab
hanyalah dop-paste dari pemikiran dan ajaran Ibnu Taimiyah. Sebagai pembeda,
hanyalah Muhammad bin Abdul Wahab dalam menjalankan ajarannya dipadukan dengan
kepentingan politik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paham
salaf adalah suatu paham yang berusaha mereview pemahaman umat untuk kembali
seperti dahulu pada masa sahabat, tabiin dan tabi’ tabiin. Penggagas paham
salaf bermula dari Ahmad bin Hanbal, dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah di era
selanjutnya, baru disebar luaskan secara merata oleh Muhammad bin Abdul Wahab
dengan menggunakan sistem perserikatan dengan tokoh politik, Muhammad bin Saud.
Meski dalam setiap periode dari ketiga tokoh paham salaf tersebut selalu saja
mendapat pertentangan dan sering kali keluar masuk penjara.
Kesemua
tokoh paham salaf di atas, meski ketiga-tiganya terdoktrin sebagai salaf, tidak
serta merta dapat dikumpulkan dalam satu rumpun salaf hanya karena aspek
penamaan semata. Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa semua pendapatnya
bersumber dari Ahmad bin Hanbal ternyata ditentang oleh murid Ibnu Hanbal
sendiri, IbnuAl-Jauzi. Doktrin pemikiran Ibnu Taimiyah dianggap sebuah
kebohongan jika dikatakan bersumber dari ajaran Ahmad bin Hanbal. Muhammad bin
Abdul Wahab pun demikian. Hanya karena untuk melancarkan paham ajarannya, rela
memadukan kesucian akidah dengan terma politik. Sehingga pemahaman salaf
sebenarnya jika diistilahkan dalam sejarah juga mengalami distorsi dari periode
ke periode.
Esensi
ajaran paham salaf sebenarnya adalah menitik beratkan pemahaman Al-Quran secara
tekstual terlebih pada ayat-ayat mtasyabbihat. Tidak diperbolehkan dalam
ajaran paham salaf untuk mentakwilAl-Quran. Dengan artian semua hal-hal yang
menyangkut perkara ghaibah (samar/asing) tidak boleh dicampurkan adukkan
dengan akal dalam pemahamannya. Sehingga paham salaf yang sebenarnya jika
ditinjau dari segi tujuan pengadaannya adalah hal yang baik. Hal tersebut
dikarenakan berupa upaya pengembalian nilai ajar ke masa klasik dahulu, di mana
semua orang dapat hidup tenteram tanpa ada pertentangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Yusuf, Abdullah. 1993. Pandangan Ulama tentang Ayat-Ayat
Mutasyabbihat. Bandung : Sinar baru.
Ø Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan. Jakarta : UI Press.
Ø Thaha, Ahmad. 1982. Ibnu Taimiyah : Hidup dan Pemikirannya.
Surabaya : Bina Ilmu.
Ø S, M. Imamuddin M. 2008. Aliran-Aliran Teologi Islam. Kediri
: Purna Siswa Aliyah 2008.
Ø Ace, Abubakar. 1986. Salaf : Islam dalam Masa Murni. Solo :
Ramadhani.
[1] Thablawy
Mahmud Saad, At-Tashawwuf di Turats Ibn Taimiyah, Al-Hai’al Hadis Al-Mishriyah
Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, 1984, hlm. 11-38
[2]Asy-Syahrastani,
Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Fikr, Beirut, t.th., hlm.92-93
[3] Abubakar
Ace, Salaf : Islam dalam Masa Murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm.25
[4] Ibrahim
Madzkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah : Manhaj wa Tathbiquh, jilid II, Dar
Al-Maarif, Mesir, 1947, hlm.30
[5] Hafidz
Dasuki, Ensiklopedi Islam, Jilid V, jet. I. Ichtiar baru Van Hoeve, Jakarta,
1993, hlm. 160
[6] Muhammad
Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib al-islamiyah, al-Haromain, Singapura-Jeddah,
t.th, hal.167-169
[7] M.
Imamuddin M.S. dkk, Aliran-Aliran Teologi Islam, Purna Siswa Aliyah 2008,
Kediri, 2008, hal.292-293
[8] Ahmadi
Thaha, Ibnu Taimiyah : Hidup dan Pemikirannya, bina Ilmu, Surabaya 1982, hal 36
[9] Harun
Nasution, Teologi Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press,
Jakarta, 1986, hlm. 62-63.
[10]
Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-Ayat Mutasyabbihat, Sinar Baru,
Bandung : 1993, hal 58-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar