Maulid, Momentum
Kesadaran Ukhuwah Umat
Oleh : Moh. Abdul
Majid Al Ansori
Dimensi sejarah dalam pergerakan ukhuwah mengundang
desah pilu yang tak kunjung menemukan titik temu. Ekspansi yang diberlakukan
dan peradaban yang dikembangkan kesemuanya malah memberikan batasan
kemanusiaan. Kesatuan tidak lagi menjadi ujung tombak harapan. Hingga kini,
pada perayaan maulid yang bernilai, mampukah keteladanan Rasulullah dapat
disikapi dalam pembuktian yang sebenarnya.
Sejarah kelam Ukhuwah
Relaksasi
sejarah secara runut telah menggambarkan bagaimana Islam berotasi kelam dari
masa ke masa. Tumpang tindih pergerakan kemanusiaan yang dilatarbelakangi oleh
Islam natural tampak semakin memudar mengiringi distorsi sejarah akhir-akhir
ini. Mungkin masih terngiang dalam sanubari umat Islam akan sikap keteladanan
Rasulullah. Proklamator syiar yang selalu menjunjung tinggi keharmonisan dalam
menjalin ukhuwah dan wathaniyah. Tidak ada perbedaan strata sosial sebagai
bentuk pengkotak-kotakan manusia. Semuanya memiliki integritas yang sama
sebagai pribadi muslim yang taat pada agamanya. Masa dimana berlangsungnya
sebuah kesejahteraan tak terbatas sehingga menjadi tumpuan kerinduan dan
harapan pada masa setelahnya. Kesejahteraan yang dimaksud tidak dipandang dari
kekayaan material ataupun substansi finansial. Melainkan mengarah pada
ketenteraman hati untuk saling menghargai dalam sebuah ikatan sam’an wa
tha’atan pada sang nabi. Rasulullah adalah pemimpin sekaligus panutan,
bukan pemimpin sekaligus tipuan.
Berawal
tahun 650 M, periode Islam klasik mengalami hambatan di tengah perjalanannya.
Tragedi fitnah pada masa Utsman bin Affan dan berlanjut hingga era Ali bin Abi
Thalib menyuluti bara pergolakan antar sesama umat Islam. Mulai muncul adanya
kesenjangan sosial yang membutakan hati hingga tidak mengenali saudara
seperjuangan. Diawali dengan propaganda kaum munafik, diwarnai dengan tajuk isu
nepotisme kekuasaan, dan berakhir dengan pertumpahan darah mengenaskan.
Menyisakan kepedihan serta kehinaan tersendiri dengan terbunuhnya Usman bin
Affan selaku khalifah, tragedi perang Jamal antar para kerabat, persengketaan
perang Shiffin dan revolusi kekhalifahan Islam yang akhirnya menjadi sistem
monarki dinasti Umawi. Lentera ukhuwah seakan-akan telah padam, dan berganti
dengan ricuhnya pemahaman dan upaya untuk saling menjatuhkan bahkan
mengkafirkan.
Federal
monarki yang berlaku mengukuhkan sang raja. Memusatkan keputusan berdasarkan
apa yang dikehendakinya. Menumbuhkan kelompok-kelompok kecil yang merasa tidak
puas untuk selalu melakukan
pemberontakan terhadapnya. Kondisi berlanjut dengan revolusi terbesar sepanjang
sejarah Islam dengan berpindahnya khilafah ke pangkuan bani Abbasiyah. Kerajaan
termegah dengan peradabannya yang mengagumkan. Menuai catatan spektakuler dalam
serial cerita negeri seribu satu malam. Menyelaraskan tahta sebagaimana
Charlemagne II Yang Agung, kaisar Romawi di belahan bumi Eropa. Namun, kesatuan
ukhuwah tetap saja tidak dapat diciptakan meski dengan berkembangnya sebuah
peradaban. Bahkan, beberapa lama kemudian, mulai terjadi masa disintegrasi
kekuasaan. Banyak sekali dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari
kekuasaan bani Abbas yang absolut. Pemerintahannya di Baghdad hanya dijadikan
sebagai simbol keutuhan khilafah. Pemicu awal bermula dari ketidakpuasan
beserta bentang kekuasaan yang mencakupi wilayah Afrika Utara hingga daratan
India. Peperangan antar dinasti sudah tidak bisa lagi dielakkan. Ukhuwah
terancam, dan umat Islamlah bedebahnya.
Khilafah
Islam akhirnya hilang. Berakhir pula dengan jatuhnya kerajaan Turki Usmani sebagai pemegang kendali terakhirnya.
Kejadian setelahnya, ukhuwah yang sirna mulai dibangun kembali. Islam berusaha
ditampilkan dengan wajah baru untuk membentuk khilafah baru. Kita banyak mengenal
tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Di Najd, kita mengenal Muhammad bin Abdul Wahab
dengan golongan wahabinya. Di Afganistan, kita mengenal Jamaluddin Al-Afghani
dengan paham Pan Islamisme-nya. Di Mesir, kita mengenal Muhammad Abduh dengan
muridnya Rasyid Ridho yang menerbitkan jurnal Al Urwatul Wutsqa, dan di India
pun kita mengenal Muhammad Iqbal dengan karyanya The Reconstruction of Religius Though
in Islam yang menjadi jargon pemersatu Islam. Entah segenap upaya itu
merupakan momentum kebangkitan yang sesuai dengan kadarnya, atau malah memicu
persengketaan baru yang berujung pada romantika saling menjatuhkan. Pada
kenyataannya, tidak ada hasil yang dicapai. Umat Islam hingga kini belum lagi
terbangun dari fanatisme kelompok yang semakin dipermasalahkan itu.
Maulid pijakan baru
ukhuwah
Dari realita sejarah yang telah tergambarkan,
sulit kiranya jika rasa persaudaraan dibangun dari posisi tertinggi menuju
posisi terendah. Kemungkinan terbesar yang terjadi adalah pergolakan sistem dan
komunitas disebabkan setiap individu di balik itu pasti mempunyai kepentingan
pribadi ataupun golongan. Baku hantam antar sesama aparat dan petinggi negara
sempurna mewarnai tajuk awal untuk membangkitkan kembali subjektivitas ukhuwah.
Maka dari itu, pola sentral pemikiran yang baru adalah perwujudan eksistensi nilai
ukhuwah bermula dari kesadaran masyarakat bahwa mereka harus bersatu, karena
merekalah pemangku sebenarnya dari sebuah negara. Biarkan oknum-oknum yang
bercengkerama di atas beradu menemukan titik temu. Tidak perlu umat Islam
menghiraukan mereka, karena sebaliknya mereka juga tidak menghiraukan umat
Islam. Jikalau mereka merasa bahwa dirinya seorang muslim yang masih memiliki
kesadaran, pastilah mereka akan bergabung mengikuti term yang sudah
diberlakukan oleh masyarakat Islam itu sendiri. Meski nyatanya, mayoritas umat
Islam hari ini masih saja dipermainkan.
Dalam
perwujudan eksistensi nilai ukhuwah tersebut, umat Islam perlu mengambil
momentum yang tepat untuk merealisasikannya. Di antaranya adalah perayaan
maulid nabi. Umat Islam tentunya paham bagaimana
esensi dari sebuah perayaan maulid Nabi. Maulid nabi tidak hanya sekedar acara
makan-makan atau senandung sajak pujian berzanji. Ada nilai persaudaraan di
dalamnya yang harus disajikan semaksimal mungkin. Di mana para tokoh serempak
bermunajat dan diamini oleh semua elemen masyarakat setempat, ibu-ibu bergotong
royong menyajikan masakan untuk santapan
perayaan, dan lain sebagainya. Semua itu adalah warna proyek awal dalam
menggalakkan kebangkitan ukhuwah. Jadi, hasil paripurna yang dapat dipetik berupa
otoritas individual untuk sama-sama memperbaiki diri dalam berinteraksi sosial.
Sehingga tidak ada lagi istilah persengketaan tanah antar saudara, perkelahian
fisik antar tetangga, apalagi kerusuhan antar desa. Semua terjalin secara
harmonis, berawal dari sebuah pemahaman maulid bahwa kita memang harus
meneladani perilaku Rasulullah dengan gambaran tersebut. Nilai tersebut memang
dikembangkan dari hal-hal kecil, semisal maulid ini, namun akan berdampak besar
dan nantinya merujuk pada seluruh masyarakat Islam majemuk terutama di Madura.
Itulah substansinya umat Islam dahulu merayakan maulid, tiada lain bertujuan
membangun kembali ghiroh persatuan umat Islam.
Pada
perayaan maulid tahun inilah, upaya tersebut layak untuk disemarakkan kembali.
Cukuplah dengan sajian makanan dan perayaan sederhana, yang terpenting semua
pihak masyarakat dari semua kalangan dapat merasakan indahnya kebersamaan dan
merasa bahwa bersama itu penting. Sehingga, perayaan maulid terkesan sangat
penting dan dapat menghasilkan output unggulan yang tidak hanya dalam lintas
ukhrawi sebagai bentuk keberkahan, juga dalam ranah duniawi sebagai bentuk
kerukunan sosial.
BAGUS...SANGAT MENGAPRESIASI....
BalasHapusKalau sudah punya karya, kami siap menerbitkan
BalasHapuskapan-kapan belajar sejarah lagi pak ustadz,,, pengen tahu tragedi jatuhnya khilafah usmani
BalasHapus