Sugesti Moral ala Valentine Days
Judul Buku :
Valentine dan Moral Abal-Abal
Penulis :
Tim Redaksi Sidogiri Media
Penerbit :
Pondok Pesantren Sidogiri
Cetakan :
1437 H
Jumlah Halaman :
120
ISSN :
771-978-163-646-9
Resentator : Moh. Abdul Majid Al Ansori
Media kenamaan satu ini tentunya sudah membahana sekali di sekitar
kita penikmat sajian religi. Topik kajian hari valentine yang dipadukan pada
realita moral remaja masa kini dalam edisi ke 112-nya ini sungguh
mengapresiasi. Ada titik temu yang tentunya menjadi tolak ukur dan sekaligus
rujukan ke depan. Lebih lagi bagi kalangan remaja yang dimasukkan dalam tema
besar kali ini dengan sebutan istilah moral abal-abal.
Sumber
aspirasi kata abal-abal di sini mendominasi terhadap jungkir balik fakta yang
terjadi. Antara tongkat agama dan trendy berpacaran. Antara rewelnya ayam dan
manutnya bebek. Semuanya terus diupayakan dalam perbaikannya, sebab remaja
dinantikan masa depannya.
Entah
sejak kapan perhatian muda-mudi Islam terarah untuk menikmati asmara. Realita
yang ada mereka mengonsumsi trend mode lautan asmara dari wacana media imporan
barat. Ekspansi moral benar-benar ampuh menggerogoti pola berpikir rasional
remaja. Mulai dari budaya berpacaran, pergaulan bebas, serta valentine days
yang menjadi tajuk pembahasan kali ini. Bahkan, fenomena kebarat-baratan ini
tidak hanya sebatas kelatahan dalam berbudaya, namun jauh lebih profit dari
itu.
Sudut
pandang demikian tidak dapat mengartikan bahwa Islam buta cinta atau
mendeskriminasi perasaaan. Cinta dalam Islam bukan merujuk pada arti kosakata
asmara. Sebab, begitu disiplinnya seseorang menjaga asmaranya, sulit akan
terhindar dari pelanggaran syariat. Sekalipun terhindar, dengan menjalani
asmara saja, seseorang akan terlalu berpaku pada perasaannya dan berpotensi
meninggalkan kepentingan hidupnya. Maka akan ada saatnya dimana kaum lelaki
menjadi lemah dan wanita menjadi murah.
Lantas
siapa yang akan menjadi tumpuan agama jika akidah remaja telah terhapus oleh
pemahaman sebelah mata pada asmara. Idealisme yang diharapkan seperti halnya
Ali bin Abi Thalib, keperkasaan yang dibanggakan demikian halnya Usamah bin
Zaid, dan kehormatan yang dijunjung tinggi selayaknya Sayyidah Aisyah.
Pencapaian berintensitas tinggi di usia belia mereka tidak mampu ditorehkan dalam
bukti nyata.
Maka
langkah paling tepat untuk mengcounter degradasi moral ini dengan memperkuat
ketahanan keluarga. Diharapkan para orang tua tidak membiarkan putra-putrinya
meneguk secangkir asmara. Perlu pula orang dewasa paham akan substansi dari mengajarkan
generasi keturunannya tentang bahayanya keikutsertaan dalam tren modernisasi.
Cukuplah rasa cinta itu diluapkan dalam keharmonisan keluarga. Cukup mereka
memulai rasa cinta pada agamanya. Sudah saatnya ada indoktrinasi sebagai bentuk
memberikan pemahaman tentang nilai keagamaan dalam Islam. Menjadikan Islam
mendarah daging dalam idealisme remaja muslim-muslimah.
Sayangnya
ada konten berbeda pada sebagian remaja yang harus lebih disoroti dan tidak
mudah mengatasi polemik masalah satu ini. Ujung tombak adalah mereka sebagai
pemerhati nomor satu perkembangan tren masa kini. Apalagi sekadar membicarakan
isu berbau agama, paradoks kata Islam yang tertera di KTP-nya sekalipun berkat
warisan ayah ibunya. Merekalah yang
menjadi sumber sekaligus menjalani kehidupan latah berbudaya remaja.
Di
sinilah kreativitas berdakwah patut dijalankan. Mencoba memuat unsur dakwah
tanpa harus tercium aromanya. Cukup berinovasi dengan gaya, pola pikir dan
bahasa yang mudah diterima. Gambarkan pula perjuangan Said Nursi dalam
meninggalkan kepekaan asmara menuju kesejahteraan rakyat dan bangsanya.😃😄😆
berpacaran islami jelas tidak bisa diberlakukan...!
BalasHapus