RENCANA TERBAIK TUHAN
*Oleh : Moh. Abdul Majid Al Ansori
“Allahu Akbar Allahu Akbar…. Allahu
Akbar Allahu Akbar….” Suara adzan yang begitu merdu itu sungguh jelas terdengar
di telingaku. Hatiku bergetar atas asma demi asma yang terpatri di dalamnya. Terbesit
Tanya dalam sanubariku. “benarkah ini adzan subuh? Berapa lama pula aku telah
tertidur hingga semua persendian tulangku terasa sakit? Lagi pula aku sedang
berada dimana? Kenapa tampak gelap sekali, apakah sedang mati lampu atau memang
aku sedang berada di suatu tempat tanpa secercah cahaya? Yang jelas, aku
tidaklah sudah mati bukan? Aku masih bisa mendengar suara adzan yang merdu
seperti tadi. Aku bahkan kaku, tidak bisa bergerak. Apa sebenarnya yang terjadi
padaku.” Hatiku berkecamuk dengan irama yang tak karuan. Berusaha memberontak
meski hanya sebatas dengan hati. Ku coba mengerahkan pikiran, mencoba mereka
ulang apa yang sebenarnya terjadi. Sakit terasa namun tetap saja aku paksa.
@@@
“Ibu, hari ini langitnya sangat
cerah ya….. ” Sapaku pada ibu yang tengah menyapu halaman pagi ini. “Ya…. Kamu
benar sekali. Langitnya begitu cerah seperti halnya dirimu yang selalu
mencerahkan hari-hari ibu.” Balas ibu dengan senyumnya. Kata-kata itu membuatku
tersadar bahwa akulah yang menjadi alasan utama bagi ibu untuk tetap berusaha
hidup di tengah kemerosotan perekonomian kami. Kami hanya hidup berdua, ayahku
hilang entah kemana. Tanpa meninggalkan apapun, dia pergi meninggalkan kami 10
tahun silam saat aku masih berumur tujuh tahun. Meski terkadang aku sering menyalahkan
tuhan atas takdir yang ku hadapi, tapi aku yakin, jika ibu masih bisa sekuat
ini, kenapa aku tidak. Maka tujuan terpenting dalam hidupku adalah untuk
membahagiakan ibu. Hanya ibu dan hanya ibu……
@@@
“Riea…..!” Begitulah sapaan
yang selalu ku dengar setiap hari saat langkahku telah tiba di koridor
sekolah. Suara yang begitu manja itu, mengingatkanku pada wajah pemiliknya yang
mempesona meski terlihat masih kekanak-kanakan. “ Assalamualaikum Miea…” Sapaku
padanya. “Waalaikum salam…” Jawabnya. Kami berjalan beriringan masuk kelas dan
duduk bersama.
“Kau cantik
sekali hari ini shob. Tumben pula hari ini kau tampil lebih maksimal.” Sapaku
mengawali pembicaraan.
“Biasa sajalah,
lagian memang sudah wujudku seperti ini. Dan kau juga yang sering mengatakannya
padaku.”
“Iya juga sih…
Oh ya, ngomong-ngomong bukannya sekarang ada jadwal ulangan dari Ustadz
Khusni?”
“Betul…..
Tentang metode pembelajaran ushul fiqh. Dan oleh karena itu, aku harap kamu bisa
mmbantuku nanti, oke…!” Candanya.
“He…he… tidak
jadi masalah. Lagian tuh anak-anak yang laen sudah antusias semua menunggu
kedatangan beliau.” Pandangan kami mengarah kepada sekerumunan siswi yang
berdiri di depan pintu.
“Alah… Mereka
tuh antusias bukan untuk ngerjain ulangannya. Tapi sudah gak sabar pengen lihat
pesona wajahnya Ustadz Khusni hari ini.” Celetuknya.
Aku tertawa
kecil. “Kamu ini ada-ada saja. Miea…Miea…”
“Bukankah ini
fakta? Kamu pun tahu, semua siswi di sekolah ini akan selalu menunggu jadwal
mengajar beliau. Karena beliau memang begitu mengagumkan.”
“Ya… Kamu
benar. Cleverly, handsomes, dan yang terpenting wonderfull banget.” Ucapku
bersikap bijak.
“Aku setuju
pula dengan istilah semacam itu.” Tanggapnya.
Belpun berbunyi, semua siswi telah
rapi dan siap menunggu kedatangan guru masing-masing. Selang beberapa menit,
seorang pria dengan berpakaian kemeja kotak-kotak putih, peci hitam dan wajah
berseri-seri, tiba-tiba memasuki ruang kelas XII IPS 1 dimana aku dan
teman-temanku sudah siap menunggu kedatangannya. Dialah Ustadz Khusni yang
kubicarakan dengan Miea.
Pembelajaran yang begitu
menakjubkan. Namun bukan berarti aku terlalu terpesona pada raut wajahnya,
melainkan terlebih pada kepribadiannya dan cara beliau dalam mengajar yang
dilengkapi dengan sajian-sajian motivasi penggugah jiwa. Dalam lamunan yang
begitu mendalam….. “Qomariyatul Fitriyah…..
Qomariyatul Fitriyah…..!
Qomariyatul Fitriyah…..!” Tanpa kusadari, sudah tiga kali aku
mengabaikan panggilan Ustadz Khuni. Aku terperanjat, dan secara spontan aku
menjawab, “Iya ustadz, saya disini.” Bibirku mendadak kelu, akupun salah
tingkah dan semua pasang mata menatap ke arahku. Ustadz Khusni
hanya tersenyum disertai gemuruh tawa teman sekelas begitu pula Miea yang duduk
di sebelahku. “Ya, saya tahu kamu disitu. Selamat ya, nilai ulanganmu yang kemaren
adalah nilai tertinggi. Adapun yang lain sebenarnya nilainya sudah bagus. Hanya
perlu perbaikan kecil pada ulangan kali ini.” Betapa malunya aku saat itu,
sedangkan Miea masih saja dengan tawanya sambil meledek ke arahku.
@@@
Jam pulang sekolah………
“Riea….. Riea….. Lagian apa sih yang kamu pikirkan saat itu?” Tanya
Miea sembari melangkah menuju gerbang sekolah.
“Entahlah, aku
sendiri bingung. Aku hanya sekedar terkesima saja dengan kepribadian beliau dan
metode beliau dalam mengajar. Sulit menemukan metode pembelajaran yang
menyenangkan seperti itu.”
“Ya…ya.. Dan
semoga saja kamu masih bisa dibilang waras sehingga tidak berkhayal untuk
menjadi istri beliau seperti yang diimpikan siswi lainnya.”
“Enak saja
Kamu. Lagian aku mesti sadar diri siapa aku. Aku adalah murid beliau. Sehingga
harapan semacam itu sulit sekali diwujudkan. Akupun sadar akan tujuan hidupku,
bagaimana aku bisa membahagiakan ibu, itu saja.”
“Bagus, ini
yang aku kagumi dari sahabat terbaikku ini. Semoga tujuan hidupmu ini tidaklah
sia-sia.”
“Amien… Tank’s
ya….”
@@@
Perputaran jarum jam yang tiada mengenal lelah menghantarkan
kehidupan pada realita yang sulit disangka-sangka kemunculannya. Semua
kemungkinan dapat saja terjadi atas kuasa tuhan yang maha perkasa. Tiada yang
yang bisa menduga atau bahkan mengubahnya. Begitu pula disaat hati mulai
terpaut akan rona pesona yang dibalut oleh indahnya ketawadhu’an. Sehingga
kesemuanya didasarkan pada asas ilahi untuk mendapat ridho-Nya. Tanpa terasa
pula, akhir tahun pelajaran kini telah tiba, sorak sorai tanda bahagia dan
tetesan air mata keharu-biruan menghiasi pagi menjelang siang hari itu…..
Aku sudah hampir 1 jam menunggu
kedatangan seseorang. Raut wajahku sudah mulai lusuh sebab terik mentari yang
mulai meninggi. Lantas, senyumku mulai mengembang saat tampak di kejauhan
seorang perempuan manis dengan senyumnya datang tergesa-gesa ke arahku.
“Aku pikir kau tidak akan datang hari ini.”
“Maafkan aku, aku lupa kalau sekarang adalah hari pengumuman
kelulusan. Kamu sendiri udah lihat pha belum?”
“Miea… bagaimana aku bisa enak-enakkan lihat kelulusan, sementara
sahabat terbaikku sedang terbaring sakit di rumahnya.”
“tidak perlu secemas itu. Aku sehat kok, lagian cuma flu biasa.”
“Alhamdulillah, kalau begitu tunggu apa lagi?”
“Lets go!”
Bergegas kami
berdua menuju papan informasi sekolah. Sampai disana, kami temukan berbagai
nuansa pada wajah teman-teman kami. Ada yang menangis, berpelukan, tertawa
riang, dan bahkan ada yang sampai hati bersimpuh di atas tanah. Ujian yang
dilaksanakan kemaren memang terasa cukup berat. Pemandangan seperti itu membuat
kami tertegun sejenak di hadapan papan informasi. “Bagaimana?” Tanyaku pada
Miea. “Mari kita awali dengan basmalah.” Ucapnya. “Bismillahirrohmanirrohim….!”
Perlahan namun pasti, kami mulai mencari sederet nama demi nama dengan seksama.
Daftar siswa yang cukup banyak membuat kami kerepotan untuk mencari nama yang
dimaksud. Lima menit kemudian, “Riea…! Aku lulus…! Predikatku A.” Terangnya
padaku.
“Benarkah? Coba aku lihat!” Ternyata benar. Miea lulus dengan nilai
yang memuaskan.
“Punyamu?” Lantas Miea bertanya padaku.
“Entahlah. Aku sendiri cemas.” Kemudian sorot mata Miea tertuju
pada sebuah nama di pojok bagian atas dengan label warna kuning tertulis ‘Nama
: Qomariyatul Fitriyah dinyatakan lulus dengan predikat A+ dan berhak
mendapatkan beasiswa ke Jakarta. Kesempatan beasiswa dapat dikonsultasikan ke
kepala sekolah.’ “Lantas ini apa?” Sambil menunjukkan tangannya. Aku termenung
bak patung memandangi tulisan itu. Nafasku begitu terasa sesak saat Miea memelukku
dengan eratnya. “Impianmu terwujud Rie…. Aku yakin kamu pasti bisa.” Kami pun
larut dalam nuansa kebahagiaan itu.
@@@
Terik mentari pada
jam 12 itu membuatku penat dalam melangkahkan kaki menuju arah pulang. Keadaan
semakin bertambah berat tanpa kehadiran Miea yang harus pulang bersama kakaknya
karena khawatir atas kesehatannya. Meski berita bahagia yang kudapati hari ini,
perjalanan pulang kali ini tampak begitu membosankan. Entah kenapa pula,
kepalaku mendadak pening, tatapanku suram, dan jalanku sempoyongan. Aku pun
tidak menyadari bahwa aku telah melewati batas trotoar dan melangkah tak karuan
di tengah jalan. Sempat ku melihat, sebuah mobil Toyota AF datang menghampiriku
dengan cepat dari arah yang berlawanan. Aku kemudian tersenyum, serasa mengenali
siapa pengendara mobil itu. Tapi semua itu buyar berganti teriakan histeris.
“Akhhhhh………!!!!!!!!!!!!” bersamaan dengan itu aku serasa terbang dan jatuh tak
karuan. Pandanganku menjadi nanar dan diakhiri dengan selimut hitam.
@@@
“Sakit….!” Batinku menjerit. Otakku
cukup tersiksa untuk mengingat semua kejadian itu. Namun, dengan hal itu
setidaknya aku bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi. Peristiwa yang cukup
memilukan. Meski masih ada tanda tanya besar yang perlu dipecahkan.
Aku pun terdiam
dalam bisu. Terdengar sayup-sayup merdu sekumpulan orang melantunkan ayat suci
Al-Quran di sekelilingku. Suara mereka seperti ku kenal. Terlebih kepada
seorang wanita setengah baya yang sedang berisak tangis mendekap erat tanganku.
“Ibu….? Engkaukah itu…?” Batinku mencoba menebak. “Tidur takkan menyelesaikan
masalah. Aku tidak boleh terus begini, aku harus bangkit….!”
Perlahan tapi
pasti. Ku coba membuka mata, memandangi setiap orang yang ada disekelilingku
satu-persatu. Tatapanku mengarah pada ibu, Miea, teman-temanku, dan yang
terakhir membuatku terperanjat “Ustadz Khusni….?” Semua orang yang tengah
bermuka masam dan tertunduk itu, mengangkat wajah tanda tak percaya.
“Riea…. Anakku… kamu sudah siuman nak.”
Aku hanya bisa mengulas senyum di hadapan ibu.
“Syukurlah. Ustadz Khusni inilah yang telah membawamu ke rumah
sakit ini. Beliau menemukanmu di tengah jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri
dan berlumuran darah.”
“Terima kasih Ustadz.”
“Ya, sama-sama.”
Tanpa terasa, aku teringat sesuatu.
“Bu……” Aku menatap ibu. “Dimana orang yang sudah menabrakku?”
Tanyaku. Begitu lama ibu menjawabnya. Beliau begitu gugup. Kemudian…..
“Kenapa kau masih mempertanyakannya nak…?”
“Ibu… Aku merasa seperti mengenalnya. Aku pun sempat tersenyum
kepadanya.”
Ibu terdiam tanpa kata. Tatapannya mengarah pada Ustadz Khusni seakan meminta pendapatnya. Aku turut
melakukan hal yang sama. Merasa terpojok seperti itu, Ustadz Khusni akhirnya
angkat bicara. “Riea… Ada hal yang perlu kamu ketahui sebenarnya di balik semua
kejadian ini.”
“Apa itu Ustadz?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya, orang yang telah menabrakmu adalah bapakmu sendiri.
Orang yang telah lama meninggalkanmu.”
“Bapak, benarkah?” Bibirku kelu. Dirasa mustahil bila harus
mengetahui kenyataan ini. Tapi ku tetap beranikan diri untuk terus bertanya.
“Lalu dimana bapak sekarang?”
“Dia telah menyerahkan dirinya sendiri ke pihak kepolisian. Dia
sungguh merasa bersalah setelah tahu kamu anaknya.”
Pertanyaanku akhirnya terjawab. Tapi, dari jawaban ini aku merasa
menemukan pertanyaan baru. “Lalu, kenapa harus Ustadz yang menjawab
pertanyaanku tadi. Kenapa tidak langsung ibu saja.”
Sebelum menjawab, Ustadz Khusni mengambil nafas panjang. “Karena
pada saat kejadian, aku sedang bersamanya.”
“Kenapa Ustadz bisa bersama bapak….?”
“Karena aku juga anaknya.”
Jawaban inilah yang akhirnya membuat telaga air mataku bercucuran.
Ustadz Khusni akhirnya menjelaskan secara panjang lebar semua rahasia yang
tesimpan rapi dalam bingkai keluargaku. Sebelum menikahi ibu, ternyata bapak
sudah berkeluarga dengan seorang wanita di luar kota dan dikaruniai seoarang
anak laki-laki. Sehingga secara terpaksa, bapak harus meninggalkan kami karena
ibu enggan untuk pindah dan hidup bersama lagi.
Rahasia akhirnya
terungkap. Ibu meminta maaf padaku telah merahasiakan hal ini sekian lama
dariku. Aku memakluminya. Pada saat itu, usiaku yang masih sangat belia
tentunya takkan mengerti tentang problematika keluarga ini. Aku hanya bisa
mengambil kesimpulan bahwa bapak telah meninggalkan kami. Kepuasanku dalam
bertanya masih belum kurasa. Pertanyaanku yang terakhir ini sekiranya mampu
mewujudkannya. “Lantas, untuk apa bapak kembali lagi ke daerah ini?”
Mendengar
pertanyaanku, Ustadz Khusni malah tersenyum, seakan malu-malu untuk
menjawabnya. Aku bertanya lagi, “Kenapa malah senyum Ustadz?” Miea yang duduk
di sampingku seakan menahan tawanya.
“Baiklah, bapakmu alias bapak kita datang kesini sebenarnya
mempunyai tujuan yang teramat penting. Namun tujuan itu menjadi gagal total
setelah semua tabir rahasia tersingkap gara-gara kejadian ini.”
“Maksud ustadz, aku sungguh tak mengerti.”
“Bapak kita kembali lagi kemari hendak melamarmu untukku.”
Tertunduk aku mendengarnya. Teringat
bayang-bayang masa lalu tentang apa yang pernah kuucapkan pada
Miea akan impian yang kuanggap mustahil diwujudkan. Rasa yang bergelimpangan
antara bahagia dan sedih menyatu dalam pantai relung kalbuku. Bahagia atas keinginan
Ustadz Khusni yang hendak melamarku. Sebuah kehormatan bagiku bisa menjadi
tunangannya. Serta kesedihan atas kenyataan yang menggagalkan semua rencana
ini. Lalu…..
“Riea….” Sapa Ustadz Khusni lembut. Aku tatap beliau lebih mendalam
kali ini.
“Meski kau tak bisa kumiliki sebagai pendamping hidupku. Setidaknya
aku bersyukur, kau bisa menjadi
adik kebanggaanku yang cerdas, baik hati, dan lemah lembut. Dari hal itulah aku
tetap akan menyayangimu selamanya.”
“benarkah itu Ustadz?”
“Ya… kamu bisa bertanya pada ibumu untuk memastikannya.”
Saat aku menoleh pada ibu di sebelah kiriku, beliau tersenyum penuh
keharuan padaku.
@@@
Anugerah terindah
dari tuhan terkadang datang dalam bentuk yang tidak kita harapkan. Sehingga
anugerah tersebut adalah pemberian yang paling baik menurut tuhan, meski tidak
menurut kita. Takdir akan terasa manis jika kita menerimanya, dan akan teras
hambar jika kita malah mengabaikannya. Maka dari itu, Life is Easy! Jalanilah
dan nikmatilah!
*Terinspirasi dari sebuah kisah akan tegarnya hati setangkai
putri malu bagai tegar karang yang siap
untuk menerima segala macam terjangan ombak di lautan lepas kehidupannya.
Tank’s so much…….too….Riea…..
siapa Riea itu bang...
BalasHapus