Jumat, 24 Juni 2016

CERPEN-Rencana Terbaik Tuhan



Hasil gambar untuk animasi cinta islami 

RENCANA TERBAIK TUHAN

*Oleh : Moh. Abdul Majid Al Ansori

“Allahu Akbar Allahu Akbar…. Allahu Akbar Allahu Akbar….” Suara adzan yang begitu merdu itu sungguh jelas terdengar di telingaku. Hatiku bergetar atas asma demi asma yang terpatri di dalamnya. Terbesit Tanya dalam sanubariku. “benarkah ini adzan subuh? Berapa lama pula aku telah tertidur hingga semua persendian tulangku terasa sakit? Lagi pula aku sedang berada dimana? Kenapa tampak gelap sekali, apakah sedang mati lampu atau memang aku sedang berada di suatu tempat tanpa secercah cahaya? Yang jelas, aku tidaklah sudah mati bukan? Aku masih bisa mendengar suara adzan yang merdu seperti tadi. Aku bahkan kaku, tidak bisa bergerak. Apa sebenarnya yang terjadi padaku.” Hatiku berkecamuk dengan irama yang tak karuan. Berusaha memberontak meski hanya sebatas dengan hati. Ku coba mengerahkan pikiran, mencoba mereka ulang apa yang sebenarnya terjadi. Sakit terasa namun tetap saja aku paksa.
@@@
“Ibu, hari ini langitnya sangat cerah ya….. ” Sapaku pada ibu yang tengah menyapu halaman pagi ini. “Ya…. Kamu benar sekali. Langitnya begitu cerah seperti halnya dirimu yang selalu mencerahkan hari-hari ibu.” Balas ibu dengan senyumnya. Kata-kata itu membuatku tersadar bahwa akulah yang menjadi alasan utama bagi ibu untuk tetap berusaha hidup di tengah kemerosotan perekonomian kami. Kami hanya hidup berdua, ayahku hilang entah kemana. Tanpa meninggalkan apapun, dia pergi meninggalkan kami 10 tahun silam saat aku masih berumur tujuh tahun. Meski terkadang aku sering menyalahkan tuhan atas takdir yang ku hadapi, tapi aku yakin, jika ibu masih bisa sekuat ini, kenapa aku tidak. Maka tujuan terpenting dalam hidupku adalah untuk membahagiakan ibu. Hanya ibu dan hanya ibu……
@@@
“Riea…..!” Begitulah sapaan yang selalu ku dengar setiap hari saat langkahku telah tiba di koridor sekolah. Suara yang begitu manja itu, mengingatkanku pada wajah pemiliknya yang mempesona meski terlihat masih kekanak-kanakan. “ Assalamualaikum Miea…” Sapaku padanya. “Waalaikum salam…” Jawabnya. Kami berjalan beriringan masuk kelas dan duduk bersama.
“Kau cantik sekali hari ini shob. Tumben pula hari ini kau tampil lebih maksimal.” Sapaku mengawali pembicaraan.
“Biasa sajalah, lagian memang sudah wujudku seperti ini. Dan kau juga yang sering mengatakannya padaku.”
“Iya juga sih… Oh ya, ngomong-ngomong bukannya sekarang ada jadwal ulangan dari Ustadz Khusni?”
“Betul….. Tentang metode pembelajaran ushul fiqh. Dan oleh karena itu, aku harap kamu bisa mmbantuku nanti, oke…!” Candanya.
“He…he… tidak jadi masalah. Lagian tuh anak-anak yang laen sudah antusias semua menunggu kedatangan beliau.” Pandangan kami mengarah kepada sekerumunan siswi yang berdiri di depan pintu.
“Alah… Mereka tuh antusias bukan untuk ngerjain ulangannya. Tapi sudah gak sabar pengen lihat pesona wajahnya Ustadz Khusni hari ini.” Celetuknya.
Aku tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada saja. Miea…Miea…”
“Bukankah ini fakta? Kamu pun tahu, semua siswi di sekolah ini akan selalu menunggu jadwal mengajar beliau. Karena beliau memang begitu mengagumkan.”
“Ya… Kamu benar. Cleverly, handsomes, dan yang terpenting wonderfull banget.” Ucapku bersikap bijak.
“Aku setuju pula dengan istilah semacam itu.” Tanggapnya.
Belpun berbunyi, semua siswi telah rapi dan siap menunggu kedatangan guru masing-masing. Selang beberapa menit, seorang pria dengan berpakaian kemeja kotak-kotak putih, peci hitam dan wajah berseri-seri, tiba-tiba memasuki ruang kelas XII IPS 1 dimana aku dan teman-temanku sudah siap menunggu kedatangannya. Dialah Ustadz Khusni yang kubicarakan dengan Miea.
Pembelajaran yang begitu menakjubkan. Namun bukan berarti aku terlalu terpesona pada raut wajahnya, melainkan terlebih pada kepribadiannya dan cara beliau dalam mengajar yang dilengkapi dengan sajian-sajian motivasi penggugah jiwa. Dalam lamunan yang begitu mendalam….. “Qomariyatul Fitriyah…..  Qomariyatul Fitriyah…..!  Qomariyatul Fitriyah…..!” Tanpa kusadari, sudah tiga kali aku mengabaikan panggilan Ustadz Khuni. Aku terperanjat, dan secara spontan aku menjawab, “Iya ustadz, saya disini.” Bibirku mendadak kelu, akupun salah tingkah dan semua pasang mata menatap ke arahku. Ustadz Khusni hanya tersenyum disertai gemuruh tawa teman sekelas begitu pula Miea yang duduk di sebelahku. “Ya, saya tahu kamu disitu. Selamat ya, nilai ulanganmu yang kemaren adalah nilai tertinggi. Adapun yang lain sebenarnya nilainya sudah bagus. Hanya perlu perbaikan kecil pada ulangan kali ini.” Betapa malunya aku saat itu, sedangkan Miea masih saja dengan tawanya sambil meledek ke arahku.
@@@
Jam pulang sekolah………
“Riea….. Riea….. Lagian apa sih yang kamu pikirkan saat itu?” Tanya Miea sembari melangkah menuju gerbang sekolah.
“Entahlah, aku sendiri bingung. Aku hanya sekedar terkesima saja dengan kepribadian beliau dan metode beliau dalam mengajar. Sulit menemukan metode pembelajaran yang menyenangkan seperti itu.”
“Ya…ya.. Dan semoga saja kamu masih bisa dibilang waras sehingga tidak berkhayal untuk menjadi istri beliau seperti yang diimpikan siswi lainnya.”
“Enak saja Kamu. Lagian aku mesti sadar diri siapa aku. Aku adalah murid beliau. Sehingga harapan semacam itu sulit sekali diwujudkan. Akupun sadar akan tujuan hidupku, bagaimana aku bisa membahagiakan ibu, itu saja.”
“Bagus, ini yang aku kagumi dari sahabat terbaikku ini. Semoga tujuan hidupmu ini tidaklah sia-sia.”
“Amien… Tank’s ya….”
@@@
Perputaran jarum jam yang tiada mengenal lelah menghantarkan kehidupan pada realita yang sulit disangka-sangka kemunculannya. Semua kemungkinan dapat saja terjadi atas kuasa tuhan yang maha perkasa. Tiada yang yang bisa menduga atau bahkan mengubahnya. Begitu pula disaat hati mulai terpaut akan rona pesona yang dibalut oleh indahnya ketawadhu’an. Sehingga kesemuanya didasarkan pada asas ilahi untuk mendapat ridho-Nya. Tanpa terasa pula, akhir tahun pelajaran kini telah tiba, sorak sorai tanda bahagia dan tetesan air mata keharu-biruan menghiasi pagi menjelang siang hari itu…..
Aku sudah hampir 1 jam menunggu kedatangan seseorang. Raut wajahku sudah mulai lusuh sebab terik mentari yang mulai meninggi. Lantas, senyumku mulai mengembang saat tampak di kejauhan seorang perempuan manis dengan senyumnya datang tergesa-gesa ke arahku.
“Aku pikir kau tidak akan datang hari ini.”
“Maafkan aku, aku lupa kalau sekarang adalah hari pengumuman kelulusan. Kamu sendiri udah lihat pha belum?”
“Miea… bagaimana aku bisa enak-enakkan lihat kelulusan, sementara sahabat terbaikku sedang terbaring sakit di rumahnya.”
“tidak perlu secemas itu. Aku sehat kok, lagian cuma flu biasa.”
“Alhamdulillah, kalau begitu tunggu apa lagi?”
“Lets go!”
            Bergegas kami berdua menuju papan informasi sekolah. Sampai disana, kami temukan berbagai nuansa pada wajah teman-teman kami. Ada yang menangis, berpelukan, tertawa riang, dan bahkan ada yang sampai hati bersimpuh di atas tanah. Ujian yang dilaksanakan kemaren memang terasa cukup berat. Pemandangan seperti itu membuat kami tertegun sejenak di hadapan papan informasi. “Bagaimana?” Tanyaku pada Miea. “Mari kita awali dengan basmalah.” Ucapnya. “Bismillahirrohmanirrohim….!” Perlahan namun pasti, kami mulai mencari sederet nama demi nama dengan seksama. Daftar siswa yang cukup banyak membuat kami kerepotan untuk mencari nama yang dimaksud. Lima menit kemudian, “Riea…! Aku lulus…! Predikatku A.” Terangnya padaku.
“Benarkah? Coba aku lihat!” Ternyata benar. Miea lulus dengan nilai yang memuaskan.
“Punyamu?” Lantas Miea bertanya padaku.
“Entahlah. Aku sendiri cemas.” Kemudian sorot mata Miea tertuju pada sebuah nama di pojok bagian atas dengan label warna kuning tertulis ‘Nama : Qomariyatul Fitriyah dinyatakan lulus dengan predikat A+ dan berhak mendapatkan beasiswa ke Jakarta. Kesempatan beasiswa dapat dikonsultasikan ke kepala sekolah.’ “Lantas ini apa?” Sambil menunjukkan tangannya. Aku termenung bak patung memandangi tulisan itu. Nafasku begitu terasa sesak saat Miea memelukku dengan eratnya. “Impianmu terwujud Rie…. Aku yakin kamu pasti bisa.” Kami pun larut dalam nuansa kebahagiaan itu.
@@@
            Terik mentari pada jam 12 itu membuatku penat dalam melangkahkan kaki menuju arah pulang. Keadaan semakin bertambah berat tanpa kehadiran Miea yang harus pulang bersama kakaknya karena khawatir atas kesehatannya. Meski berita bahagia yang kudapati hari ini, perjalanan pulang kali ini tampak begitu membosankan. Entah kenapa pula, kepalaku mendadak pening, tatapanku suram, dan jalanku sempoyongan. Aku pun tidak menyadari bahwa aku telah melewati batas trotoar dan melangkah tak karuan di tengah jalan. Sempat ku melihat, sebuah mobil Toyota AF datang menghampiriku dengan cepat dari arah yang berlawanan. Aku kemudian tersenyum, serasa mengenali siapa pengendara mobil itu. Tapi semua itu buyar berganti teriakan histeris. “Akhhhhh………!!!!!!!!!!!!” bersamaan dengan itu aku serasa terbang dan jatuh tak karuan. Pandanganku menjadi nanar dan diakhiri dengan selimut hitam.
@@@
“Sakit….!” Batinku menjerit. Otakku cukup tersiksa untuk mengingat semua kejadian itu. Namun, dengan hal itu setidaknya aku bisa tahu apa sebenarnya yang terjadi. Peristiwa yang cukup memilukan. Meski masih ada tanda tanya besar yang perlu dipecahkan.
            Aku pun terdiam dalam bisu. Terdengar sayup-sayup merdu sekumpulan orang melantunkan ayat suci Al-Quran di sekelilingku. Suara mereka seperti ku kenal. Terlebih kepada seorang wanita setengah baya yang sedang berisak tangis mendekap erat tanganku. “Ibu….? Engkaukah itu…?” Batinku mencoba menebak. “Tidur takkan menyelesaikan masalah. Aku tidak boleh terus begini, aku harus bangkit….!”
            Perlahan tapi pasti. Ku coba membuka mata, memandangi setiap orang yang ada disekelilingku satu-persatu. Tatapanku mengarah pada ibu, Miea, teman-temanku, dan yang terakhir membuatku terperanjat “Ustadz Khusni….?” Semua orang yang tengah bermuka masam dan tertunduk itu, mengangkat wajah tanda tak percaya.
“Riea…. Anakku… kamu sudah siuman nak.”
Aku hanya bisa mengulas senyum di hadapan ibu.
“Syukurlah. Ustadz Khusni inilah yang telah membawamu ke rumah sakit ini. Beliau menemukanmu di tengah jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berlumuran darah.”
“Terima kasih Ustadz.”
“Ya, sama-sama.”
Tanpa terasa, aku teringat sesuatu.
“Bu……” Aku menatap ibu. “Dimana orang yang sudah menabrakku?” Tanyaku. Begitu lama ibu menjawabnya. Beliau begitu gugup. Kemudian…..
“Kenapa kau masih mempertanyakannya nak…?”
“Ibu… Aku merasa seperti mengenalnya. Aku pun sempat tersenyum kepadanya.”
Ibu terdiam tanpa kata. Tatapannya mengarah pada Ustadz Khusni  seakan meminta pendapatnya. Aku turut melakukan hal yang sama. Merasa terpojok seperti itu, Ustadz Khusni akhirnya angkat bicara. “Riea… Ada hal yang perlu kamu ketahui sebenarnya di balik semua kejadian ini.”
“Apa itu Ustadz?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya, orang yang telah menabrakmu adalah bapakmu sendiri. Orang yang telah lama meninggalkanmu.” 
“Bapak, benarkah?” Bibirku kelu. Dirasa mustahil bila harus mengetahui kenyataan ini. Tapi ku tetap beranikan diri untuk terus bertanya.
“Lalu dimana bapak sekarang?”
“Dia telah menyerahkan dirinya sendiri ke pihak kepolisian. Dia sungguh merasa bersalah setelah tahu kamu anaknya.”
Pertanyaanku akhirnya terjawab. Tapi, dari jawaban ini aku merasa menemukan pertanyaan baru. “Lalu, kenapa harus Ustadz yang menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa tidak langsung ibu saja.”
Sebelum menjawab, Ustadz Khusni mengambil nafas panjang. “Karena pada saat kejadian, aku sedang bersamanya.”
“Kenapa Ustadz bisa bersama bapak….?”
“Karena aku juga anaknya.”
Jawaban inilah yang akhirnya membuat telaga air mataku bercucuran. Ustadz Khusni akhirnya menjelaskan secara panjang lebar semua rahasia yang tesimpan rapi dalam bingkai keluargaku. Sebelum menikahi ibu, ternyata bapak sudah berkeluarga dengan seorang wanita di luar kota dan dikaruniai seoarang anak laki-laki. Sehingga secara terpaksa, bapak harus meninggalkan kami karena ibu enggan untuk pindah dan hidup bersama lagi.
            Rahasia akhirnya terungkap. Ibu meminta maaf padaku telah merahasiakan hal ini sekian lama dariku. Aku memakluminya. Pada saat itu, usiaku yang masih sangat belia tentunya takkan mengerti tentang problematika keluarga ini. Aku hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa bapak telah meninggalkan kami. Kepuasanku dalam bertanya masih belum kurasa. Pertanyaanku yang terakhir ini sekiranya mampu mewujudkannya. “Lantas, untuk apa bapak kembali lagi ke daerah ini?”
            Mendengar pertanyaanku, Ustadz Khusni malah tersenyum, seakan malu-malu untuk menjawabnya. Aku bertanya lagi, “Kenapa malah senyum Ustadz?” Miea yang duduk di sampingku seakan menahan tawanya.
“Baiklah, bapakmu alias bapak kita datang kesini sebenarnya mempunyai tujuan yang teramat penting. Namun tujuan itu menjadi gagal total setelah semua tabir rahasia tersingkap gara-gara kejadian ini.”
“Maksud ustadz, aku sungguh tak mengerti.”
“Bapak kita kembali lagi kemari hendak melamarmu untukku.”
Tertunduk aku mendengarnya. Teringat bayang-bayang masa lalu tentang apa yang pernah kuucapkan pada Miea akan impian yang kuanggap mustahil diwujudkan. Rasa yang bergelimpangan antara bahagia dan sedih menyatu dalam pantai relung kalbuku. Bahagia atas keinginan Ustadz Khusni yang hendak melamarku. Sebuah kehormatan bagiku bisa menjadi tunangannya. Serta kesedihan atas kenyataan yang menggagalkan semua rencana ini. Lalu…..
“Riea….” Sapa Ustadz Khusni lembut. Aku tatap beliau lebih mendalam kali ini.
“Meski kau tak bisa kumiliki sebagai pendamping hidupku. Setidaknya aku bersyukur, kau bisa menjadi adik kebanggaanku yang cerdas, baik hati, dan lemah lembut. Dari hal itulah aku tetap akan menyayangimu selamanya.”
“benarkah itu Ustadz?”
“Ya… kamu bisa bertanya pada ibumu untuk memastikannya.”
Saat aku menoleh pada ibu di sebelah kiriku, beliau tersenyum penuh keharuan padaku.
@@@
            Anugerah terindah dari tuhan terkadang datang dalam bentuk yang tidak kita harapkan. Sehingga anugerah tersebut adalah pemberian yang paling baik menurut tuhan, meski tidak menurut kita. Takdir akan terasa manis jika kita menerimanya, dan akan teras hambar jika kita malah mengabaikannya. Maka dari itu, Life is Easy! Jalanilah dan nikmatilah!

*Terinspirasi dari sebuah kisah akan tegarnya hati setangkai putri malu bagai tegar karang yang siap untuk menerima segala macam terjangan ombak di lautan lepas kehidupannya. Tank’s so much…….too….Riea…..

1 komentar: